Monday, July 7, 2008

Ujian Nasional Yang Sungguh Terlalu

Dalam beberapa hari terakhir ini kita disuguhi berita-berita tragis, menggelikan, dan absurd yang berkaitan dengan Ujian Nasional. Seorang kakek berusia 76 tahun di Kota Batu mengembuskan nafas yang terakhir karena kaget setelah mendengar dua cucunya tidak lulus dalam Ujian Nasional SMA yang diumumkan hari Sabtu yang lalu. Di bagian lain, kita melihat puluhan pelajar melakukan konvoi bersuka cita- yang kadang kelewat batas dan bikin geram aparat kepolisian- demi merayakan kelulusannya. Mereka merasa berhak melakukan itu untuk mengompensasi kecemasan yang telah menghantui mereka sejak mengikuti ujian nasional.

Sementara itu, ada orang yang terdiam dan terbengong-bengong menyaksikan kenylenehan hasil Ujian Nasional. Misalnya, di sebuah SMA swasta di Diwek Jombang, ada seorang siswa yang menonjol prestasi akademiknya, namun dinyatakan tidak lulus. Sementara itu, di sebuah SMA di Ploso Jombang, seorang siswa yang diketahui lemah dalam mata pelajaran eksakta ternyata memperoleh nilai sempurna 10 untuk mata pelajaran matematika. (Radar Mojokerto, Senin, 16 Juni 2008). Ada juga kasus unik yang terjadi pada Ujian Nasional tahun yang lalu. Seorang siswa yang juara Olimpiade Sains ternyata dinyatakan tidak lulus dalam Ujian Nasional. Namun, setelah mengikuti ujian kesetaraan paket C dan dinyatakan lulus, dia malah berhasil melanjutkan studi di perguruan tinggi luar negeri. Absurd.

Kenapa itu semua bisa terjadi? Kenapa siswa yang dalam kesehariannya menonjol prestasi akademiknya justru keok dalam Ujian Nasionalnya? Ada banyak alasan kenapa ini terjadi. Pertama, mungkin siswa dalam kondisi tidak fit ketika ujian. Kedua, siswa mungkin mengalami tekanan psikologis yang berat ketika mengikuti ujian. Ini karena, mungkin, orang tua sejak awal telah mengindoktrinasikan bahwa “Kamu harus lulus!”. Sementara, guru-guru di sekolahnya terus memberi warning bahwa Ujian Nasional akan semakin sulit karena passing grade dinaikkan dan jumlah mata pelajaran ditambah. Pesan- peasan yang disampaikan oleh orang tua dan juga guru yang diharapkan akan memotivasi belajar sang anak ternyata malah menjadi boomerang.

Siswa merasa, tiga hari ujian nasional akan menjadi saat yang sangat menentukan dalam hidupnya. Kegagalan untuk melakukan yang terbaik dalam tiga hari itu akan membuyarkan usaha yang telah dilakukannya selama tiga tahun. Beban psikologis ini sangatlah berat bagi siswa. Hal ini masih diperparah dengan overacting-nya pelaksanaan Ujian Nasional itu sendiri. Naskah soal harus selalu dalam pengawasan polisi. Di Makassar bahkan sampai harus melibatkan Densus 88 anti teror untuk mengamankan pelaksanaan Ujian Nasional. Keseraman-keseraman ini tak ayal lagi akan mempengaruhi konsentrasi siswa ketika menempuh ujian nasional.

Lantas, teori apa yang bisa menjelaskan kenapa siswa yang kesehariaanya biasa-biasa saja atau bahkan kurang namun ternyata mampu menyabet nilai sempurna? Jawaban yang paling aman adalah itu memang sudah” rejekinya”. Kalau jawaban yang sedikit suudzon, mungkin karena dia lihai menyontek atau bahkan dibantu gurunya. Di luar penjelasan yang dua tadi, tidak ada penjelasan lain yang masuk akal.

Mencermati fenomena-fenomena di atas tampaknya ada yang perlu diperbaiki dengan sistim pengujian yang dilaksanakan di negeri ini. Karena ternyata model yang dilaksanakan sekarang belum mencapai tujuan seperti yang diharapkan. Dengan diadakannya Ujian Nasional sebenarnya diharapkan akan diketahui standar kualitas pendidikan di Indonesia, namun kenyataanya yang diperoleh adalah angka- angka yang nyleneh yang diragukan atau bahkan ditertawakan sendiri oleh para guru.

Menurut hemat penulis, letak kesalahannya adalah menjadikan Ujian Nasional menjadi penentu kelulusan siswa. Dengan menempatkan Ujian nasional sebagai penentu kelulusan akan menyulitkan dalam memperoleh data yang akurat tentang kualitas pendidikan di negeri ini. Akan banyak faktor yang ikut atau memaksa ikut menentukan hasil ujian. Ketakutan guru dan orang tua siswa. Kecemasan pejabat yang membidangi pendidikan. Semua ikut mewarnai, baik secara positif maupun negatif, terhadap hasil ujian. Dus, kualitas sebenarnya dari seorang siswa akan tersamarkan.

Kalau Ujian Nasional tidak diharapkan sebagai penentu kelulusan, lantas ia harus kita posisikan sebagai apa? Menurut hemat penulis ada dua cara memosisikan Ujian Nasional. Pertama, Ujian Nasional dianggap sebagai alat untuk mengukur tingkat kualitas sumberdaya manusia sekaligus kualitas pendidikan di Indonesia. Dalam posisi ini Ujian Nasional tidak perlu diadakan pada akhir jenjang. Dia bisa diadakan pada saat siswa kelas 3, kelas 8, dan kelas 11 misalnya. Sebagai bandingan, Australia juga mempunyai pengujian kemampuan literasi dan numerasi yang diaadakan secara nasional. Namun keduanya tidak diadakan pada akhir jenjang. Jadi tidak ada beban psikologis yang mengiringi siswa ketika melakukan ujian itu. Dengan demikian, hasil ujian yang diperoleh akan menggambarkan dengan sebenarnya tingkat kemampuan siswa dan secara tidak langsung juga tingkat kualitas pendidikannya.

Kedua, kalau toh kita masih ingin memposisikan Ujian Nasional sebagai penentu bagi siswa untuk melanjutkan studi ke jenjang berikutnya, kenapa kita tidak memposisikan Ujian Nasional seperti tes TOEFL atau IELTS untuk mengukur kemampuan berbahasa Inggris misalnya. Maksud penulis, hasil Ujian Nasional hanya digunakan untuk masuk sekolah tertentu yang memang mensyaratkan. Dengan kata lain, siswa akan tetap lulus berapa pun nilai Ujian Nasional yang diperolehnya. Tetapi, untuk masuk ke sekolah tertentu, nilai Ujian Nasional yang dia peroleh yang akan berbicara. Dengan demikian siswa akan tetap termotivasi untuk belajar demi memperoleh nilai yang tinggi dalam Ujian Nasional agar supaya bisa masuk ke sekolah yang diinginkannya.

Dengan memosisikan Ujian Nasional seperti dipaparka di atas, diharapkan tidak akan ditemui lagi berita-berita yang tragis, menggelikan, dan absurd yang mengiringi pelaksanaan Ujian Nasional. Tidak didapati lagi orang yang ngedumel bahwa Ujian Nasional adalah kebijakan nasional di bidang pendidikan yang, meminjam ungkapan yang sering dilontarkan Sarim dan Samin dalam sinetron komedi “Si Entong”, sungguh terlalu! Bagaimana menurut Anda?

No comments:

Mendidik Anak Bangsa di Luar Negeri

Terhitung sejak tahun lalu, saya mendapatkan amanah untuk menjadi kepala sekolah di Sekolah Indonesia Riyadh (SIR), sekolah kedutaan di ...