Friday, July 20, 2012


Why Not? (1)
Hari itu hari kedua setelah pengumuman penerimaan peserta didik baru. Ada seorang wanita setengah baya, yang nampaknya keturunan cina, datang ke sekolah. Dengan agak terbata-bata dia menyampaikan maksud kedatangannya, “Pak, tolong saya diberi solusi, pegawai saya stress karena anaknya tidak diterima di sekolah ini. Dia stress karena anaknya juga stress.” Aku kaget. Apa iya? “ Dia sangat pengin sekolah di sekolah ini karena katanya sepak bolanya nomor wahid,” lanjutnya.
Penggalan cerita di atas merupakan salah satu kenyataan mengharukan yang sedang dirasakan teman-teman di sekolah saat ini. Pada kegiatan penerimaan peserta didik baru kemarin kami memang mendapatkan jumlah pendaftar yang berlimpah. Dengan demikian kami bisa memperoleh intake siswa yang lebih baik—sesuatu yang sangat diimpikan teman-teman. Hal ini menjadi kenyataan manis karena selama beberapa tahun belakangan sekolah ini sering kekurangan pendaftar, bahkan pernah sampai harus membuka pendaftaran gelombang kedua.
Teman-teman sering mengeluh karena sekolah ini distigma menjadi sekolah kelas dua, muridnya adalah ‘buangan’ dari sekolah lain yang lebih favorit, banyak yang tidak lulus ketika ujian nasional, anaknya nakal-nakal, dan seterusnya dan seterusnya, yang semuanya serba negatif dan membuat minder.
“Kalau kenyataannya seperti itu, lantas apa sikap kita?”, tanyaku kepada teman-teman ketika ngobrol di ruang guru. Banyak komentar yang diberikan oleh teman-teman. Tak jarang komentar yang diberikan hanyalah ekspresi menerima nasib sebagai sekolah yang dipinggirkan oleh stigma yang diberikan masyaarakat. ”Kalau kita menginginkan hasil yang luar biasa, maka harus ada usaha yang luar biasa pula,” kataku mengutip kata-kata Mario Teguh—walau hidup memang tak seindah dan semudah kata-kata Mario Teguh.
Kita harus melakukan sesuatu, kalau kita ingin stigma itu berubah. Kita tidak bisa hanya berdiam diri meratapi nasib. Dalam kitab suci dikatakan bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, kalau kaum itu sendiri tidak mau merubahnya. Kalimat-kalimat tadi terus-menerus saya induksikan kepada teman-teman sehingga akhirnya kita punya tekad yang sama: kita harus melakukan sesuatu kalau ingin berubah.
Maka, mulailah dirancang program-program untuk mengkompensasi stigma-stigma negatif yang telah melekat pada sekolah kami. Berdasarkan hasil diskusi dengan teman-teman guru, akhirnya disepakati langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mengkompensasi stigma yang pertama—yaitu anggapan masyarakat bahwa sekolah kami adalah sekolah kelas dua dan muridnya adalah ‘buangan’ dari sekolah lain yang lebih favorit. Langkah-langkah yang akan dilakukan adalah: mengenalkan sekolah kepada anak-anak SD/MI di sekitar sekolah, menjalin kemitraan dengan guru-guru SD/MI di sekitar sekolah, dan tidak lupa menjalin kemitraan dengan masyarakat sekitar sekolah.
Kami berasumsi, bahwa anak-anak lulusan SD/MI atau dalam hal ini orang tuanya enggan mendaftar di sekolah kami karena mereka belum tahu dengan sebenarnya sekolah kami. Jadi sekolah perlu membuka diri dan semua warga sekolah haruslah menjadi humas yang baik dari sekolah. Harus ada cara yang membuat orang tahu keadaan kami sekarang. Harus dirancang kegiatan yang menghadirkan sebanyak mungkin anak SD/MI, guru-gurunya, bahkan kalau mungkin orangtuanya ke sekolah kami. Dan kegiatan tersebut harus murah karena sekolah kami hanya mengandalkan pendanaan dari dana BOS. Tanpa pernah meminta sumbangan kepada masyarakat.
Akhirnya, langkah pertama yang disepakati adalah dengan mengadakan kegiatan try-out ujian nasional untuk anak-anak SD/MI di sekitar sekolah. Kegiatan tersebut harus gratis dan berhadiah agar bisa menarik minat sebanyak mungkin siswa. Dan untuk membuat anak-anak SD/MI tertarik dengan sekolah ini, pada saat kegiatan try-out dilaksanakan juga open day sekolah: kami pamerkan semua aktifitas sekolah.
Anak-anak yang ikut ekstra sepakbola dan bola voli, mereka datang dan berlatih dengan pakaian seragam olahraganya yang keren. Yang ikut pramuka, juga mengadakan latihan pramuka. Di ruang serbaguna dipamerkan hasil karya anak-anak, mulai dari lukisan, batik, dan hasil kerajinan yang lain. Kami pamerkan juga alat-alat laboratorium IPA, yang mikroskop-nya bisa juga dicoba-coba oleh anak-anak yang mengunjunginya. Dan tak lupa, diputarkan video kegiatan siswa, mulai dari kegiatan pramuka sampai dengan LDK. Pokoknya hari itu harus menjadi hari yang meriah yang membuat anak-anak itu ingin kembali suatu saat nanti.
Saya dan guru-guru yang kebetulan tidak mendapat tugas mengawasi try-out menyebar  untuk menemani guru pengantar dan orang tua siswa yang ada di lokasi sekolah. Kami ajak mereka ngobrol sambil menjelaskan program-program dan ‘impian’ sekolah. Kami juga mencoba menjaring masukan program-program apa yang harus kami adakan di waktu yang akan datang.
Lantas dari mana dananya? Dari dana BOS jelas tidak bisa. Cari sponsor adalah satu-satunya cara. Tapi, bagaimana bisa menarik sponsor kalau sekolah kita dianggap tidak ‘layak jual’? Kami memutar otak. Mencari celah-celah yang bisa digunakan untuk menarik minat sponsor. Alhamdulillah, kami bisa memanfaatkan link yang ada, apa itu teman penerbit, kursusan, lembaga bimbel, asuransi dan sebagainya yang semuanya punya kerjasama dengan sekolah. Bahkan, ada dari teman guru sendiri yang menjadi sponsor. Alhasil, kegiatan try-out yang kami rancang tersebut berjalan sukses luar biasa. Tidak ada satu kursi pun tersisa.
Melihat kesuksesan kegiatan try-out tersebut kami merasa optimistis bahwa dalam PPDB nanti kami tidak perlu khawatir kekurangan pendaftar. Dan alhamdulillah, kenyataannya memang demikian, bahkan kami kelimpahan banyak pendaftar, hingga lebih dari 140 siswa yang terpaksa tidak bisa tertampung di sekolah kami. The dream comes true, akhirnya mimpi kami untuk memperoleh intake yang bagus menjadi kenyataan. Why not? Mengapa tidak? Kalau ada kemauan pasti ada jalan untuk mencapainya.
Ini adalah awal yang baik, tapi, masih ada program lain yang harus dilaksanakan untuk menjamin keberhasilan ini bukan hanya sebuah kebetulan. Program kemitraan dengan guru-guru SD/MI adalah program kami berikutnya. Kami punya fasilitas ruang komputer dan punya SDM yang bisa membimbing belajar komputer. Kami ingin, suatu saat nanti, kami bisa bersama-sama dengan guru-guru SD/MI di sekitar sekolah belajar komputer bersama. Kami ingin berbagi trik-trik mengajar untuk menyiapkan anak-anak menghadapi ujian nasionalnya. Kami ingin keberadaan sekolah kami benar-benar menebar banyak manfaat. Kami juga ingin masyarakat sekitar juga merasakan manfaat keberadaan sekolah kami di lingkungannya. Ini tentu bukan pekerjaan yang mudah, tapi why not?
Mungkin sampai di sini dulu share saya kali ini. Pada bagian berikutnya, kami nanti ingin berbagi, bagaimana usaha kami mengkompensasi stigma yang kedua: banyak yang tidak lulus ketika ujian nasional!

Mendidik Anak Bangsa di Luar Negeri

Terhitung sejak tahun lalu, saya mendapatkan amanah untuk menjadi kepala sekolah di Sekolah Indonesia Riyadh (SIR), sekolah kedutaan di ...