Wednesday, September 3, 2014

Implementasi Kurikulum 2013: Bukan Hanya Masalah Buku



            Pada tahun pelajaran 2014/2015 ini seluruh sekolah serentak mengimplementasikan kurikulum 2013. Di SD dilaksanakan pada kelas 1-2 dan kelas 4-5, di SMP pada  kelas 7-8, dan di SMA pada kelas 10-11. Ada empat elemen yang berubah pada kurikulum 2013 jika dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Perubahan itu meliputi: standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian. Namun sangat disayangkan proses perubahan itu tidak berjalan mulus walaupun sudah dilakukan persiapan-persiapan sebelumnya.
            Sejumlah kalangan menilai, implementasi kurikulum 2013 bisa gagal karena berbagai faktor, diantaranya karena transisi pemerintahan (Radar Jombang, Rabu, 3 September 2014). Dan yang paling banyak disorot oleh media, baik cetak maupun elektronik, adalah belum tersedianya buku untuk siswa maupun untuk guru karena ada sedikit permasalahan dalam proses pengadaannya.
Elemen perubahan lainnya juga tidak kalah penting untuk dicermati. Dengan kata lain, kalau pemahaman guru tentang dua elemen perubahan yang lainnya, yaitu standar proses dan standar penilaian sesuai dengan kurikulum 2013 sudah memadai, masalah belum tersedianya buku tidak lagi krusial.
            Karena sebenarnya, konten materi pembelajaran kurikulum 2013 tidak jauh berbeda dengan konten materi kurikulum sebelumnya, kecuali pada beberapa mata pelajaran tertentu. Guru masih bisa menggunakan bahan ajar dari buku-buku sebelumnya. Namun, proses pembelajaran dan penilaiannya harus disesuaikan dengan standar proses dan standar penilaian kurikulum 2013. Dengan demikian, pemahaman guru akan standar proses dan standar penilaian kurikulum 2013 sangat penting.
Ada perbedaan proses pembelajaran yang cukup signifikan pada kurikulum 2013 jika dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Paradigma pembelajaran kurikulum 2013 yang menggunakan pendekatan saintifik dengan langkah-langkah: mengobservasi, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan adalah hal baru bagi sebagian besar guru. Pendekatan ini mengharuskan guru memfasilitasi peserta didik untuk menemukan sendiri pengetahuan baru yang dipelajari. Siswa tidak lagi diberitahu, tapi siswa didorong untuk mencari tahu. Guru harus melatih critical thinking dan meningkatkan rasa ingin tahu (curiousity)  siswa. Hal ini menjadi sulit bagi guru karena sebagian besar guru jarang bahkan tidak pernah melakukannya dalam pembelajaran mereka sebelumnya.
            Dalam hal penilaian juga terjadi perubahan yang cukup besar. Pada kurikulum sebelumnya, guru melaporkan hasil belajar peserta didik kepada orangtua mereka dalam bentuk nilai tunggal tiap mata pelajaran. Kurikulum 2013 mengharuskan guru melaporkan hasil pencapaian kompetensi peserta didik untuk masing-masing mata pelajaran dalam tiga ranah, yaitu: sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Selain itu, guru juga harus membuat deskripsi pencapaian kompetensi peserta didik untuk masing-masing ranah tersebut. Hal ini, tentu saja, bukan hal yang mudah bagi guru.
            Sebenarnya hampir semua guru sudah mendapatkan pelatihan tentang pendekatan saintifik dalam pembelajaran. Guru juga sudah mendapatkan pelatihan bagaimana menilai perkembangan kompetensi peserta didik. Namun, apa yang bisa didapat dengan pelatihan yang hanya berlangsung kurang lebih satu pekan itu?
Mau tidak mau, guru harus menambah pengetahuannya sendiri tentang penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran dan juga belajar praktik menilai kompetensi siswa dalam ketiga ranah yang telah disebutkan.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebenarnya telah menerbitkan panduan-panduan yang bisa dipelajari, misalnya: Panduan Penguatan Proses Pembelajaran, Panaduan Mata Pelajaran untuk masing-masing mata pelajaran, dan Panduan Penilaian Pencapaian Kompetensi Peserta Didik. Dalam ketiga buku itu dijelaskan secara detil penerapan pendekatan saintifik untuk masing-masing mata pelajaran dan bagaimana menilai kompetensi siswa dalam ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Namun sayang, tampaknya banyak guru yang belum membaca panduan-panduan itu. Ini juga terkait dengan masih rendahnya budaya membaca di kalangan guru.
            Pada sisi lain, keengganan guru untuk menyesuaikan dengan perubahan kurikulum ini juga terasa. Mereka beranggapan pendekatan ini sulit diterapkan. Mereka enggan keluar dari zona nyaman mereka dalam mengajar selama ini. Dalam situasi seperti ini, peran penting seorang kepala sekolah dalam mengawal perubahan kurikulum ini menjadi penting.
Kepala sekolah sebagai agen perubahan harus bisa menjamin dan memfasilitasi perubahan ini. Diskusi yang terus-menerus akan membantu pemahan guru akan pendekatan pembelajaran dan penilaian yang baru. Kepala sekolah harus bisa menjadikan perubahan paradigma pembelajaran dan penilaian ini sebagai trending topic pembicaraan-pembicaraan di sekolah, baik secara informal maupun secara formal melalui kegiatan rapat dinas pembinaan.
            Kepala sekolah harus menjadikan sekolahnya sebagai komunitas belajar yang profesional (Professional Learning Community). Beban perubahan ini akan sangat berat kalau harus ditanggung oleh guru sendiri. Melaui diskusi-diskusi yang intens, walau dalam suasana yang tidak formal, pemahaman akan standar proses dan standar penilaian akan meningkat.
Kegiatan kaji pembelajaran (lesson study) perlu ditradisikan. Dalam kegiatan itu, secara kolaboratif dengan teman sejawat, guru menyusun rencana pembelajaran dan penilaian sesuai kurikulum 2013. Setelah itu guru mencobakannya di kelas dengan diamati oleh teman sejawatnya. Permasalahan-permasalahan yang muncul dicatat dan didiskusikan sebagai bahan perbaikan.
Dengan ikhtiar-ikhtiar yang disebutkan tadi, harapannya, pemahaman guru terhadap kurikulum 2013 semakin baik. Dan guru tak perlu lagi galau walau buku yang ditunggu-tunggu belum juga datang. Bagaimana menurut Anda?

Saturday, February 15, 2014

Meluruskan Tugas Guru



Ujian Nasional bagi siswa SMA dan SMP akan berlansung pada akhir April dan awal Mei tahun ini. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan ujian nasional selalu disambut dengan perasaan cemas oleh bukan hanya siswa, tapi juga para guru dan orangtua siswa. Kecemasan itu pada akhirnya akan mempengaruhi proses bagaimana guru dan orangtua membelajarkan anak-anak mereka.

Tidak jarang kita temui orangtua yang memaksa anaknya untuk mengikuti kegiatan les atau pembelajaran tambahan di berbagai tempat. Tujuannya hanya satu, membuat anak-anak mereka sukses mendapatkan nilai yang baik dalam ujian nasional. Yang karena kegiatan itu, anak-anak telah kehilangan haknya untukbermain dan bersosialisasi secara wajar dengan lingkungannya. Waktu mereka habis untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian nasional.

Bukan hanya orangtua, guru pun juga tidak kalah paniknya. Di sekolah, mereka mengadakan kegiatan pembelajaran tambahan. Ujicoba ujian nasional juga dilakukan berulang-ulang. Dan tak lupa, segala macam trik mengerjakan soal dimantapkan untuk dikuasai siswa. Bahkan, tak jarang trik-trik licik juga ikut diajarkan kepada siswa: bagaimana membantu siswa yang lain atau sebaliknya, bagaimana mencari contekan dari siswa yang lain. Dari sinilah, malpraktik pembelajaran bermula dan  kegiatan yang anti-pedagogi mulai terjadi.

Guru tidak lagi mengajar sesuai dengan karakteristik mata pelajarannya. Guru hanya fokus mempersiapkan siswa-siswinya agar bisa menyelesaikan soal-soal ujian nasionalnya dengan baik. Dalam proses pembelajaran di kelas, aspek pengetahuan mendapat porsi yang lebih besar, kalau tidak boleh dibilang total, dibandingkan dengan dua aspek lainnya: keterampilan dan sikap.
Alur pembelajaran ideal, di mana siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui kegiatan mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan membuat jejaring tidak terlaksana. Yang terjadi adalah: potong kompas. Memfokuskan mempelajari materi yang biasanya keluar dalam ujian nasional dan menghapal trik-trik untukmengeksekusi soalnya.

Budaya potong kompas ini pada akhirnya akan melahirkan mentalitasinstan dan menihilkan kreatifitas. Budaya instan yang terjadi pada dunia pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologis peserta didik, khususnya berkaitan dengan rasa percaya dirinya. Hal ini menunjukkan telahterjadinya reduksi tujuan pendidikan nasional. Artinya, bahwa apa yang ingin dicapai melalui sistim pendidikan kita, tidak memiliki korelasi yang berbanding lurus dengan perilaku guru, siswa, maupun orangtua.

Sekolah, sadar atau tidak,juga telah mereduksi standar kompetensi lulusan (SKL) yang seharusnya dicapai siswa. Menurut kurikulum yang berlaku, kompetensi yang harus dikuasai siswa agar bisa lulus dari satuan pendidikan mencakup ranah pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Namun yang terjadi adalah ketidakseimbangan dalam pengembangannya. Mata pelajaran yang masuk ranah keterampilan dan sikap, yang tidak diujinasionalkan, seolah dianaktirikan. Tidak mendapatkan penanganan yang serius, dan bahkan dalam beberapa sekolah dikurangi jumlah jam pelajarannya atau bahkan dihilangkan. 

Sebenarnya, pembelajaran mata pelajaran pada ranah keterampilan dan sikap tidaklah kalah pentingnya. Kehalusan budi, tenggang rasa, mau menghargai orang lain, sportif, dan kemauan mengapresiasi pencapaian orang lain bisa dipupuk lewat mata pelajaran seperti seni budaya, keterampilan, olahraga, atau muatan lokal bahasa jawa. Softskill semacam itu sangat diperlukan bagi harmonisasi kehidupan di masyarakat. Namun, dengan memfokuskan kegiatan pembelajaran hanya untuk mencapai hasil yang baik dalam ujian nasional, keterampilan-keterampilan penting itu akhirnya tidak terkembangkan. Fenomena kenakalan remaja dan anarkisme dalam menyampaikan aspirasi dan pendapat yang sering kita saksikan, bisa jadi, berakar dari apa yang telah terjadi di kelas-kelas di sekolah kita.

Kembali ke khittah.
Sudah saatnya sekarang bagi guru untuk merenungi kembali tugas pokok dan fungsinya.Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dikatakan bahwa “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. 

Dalam tugas pokok guru tersebut terkandung makna bahwa tugas guru bukan hanya mengajar, yaitu membuat siswa mahir dalam pengetahuan, mahir dalam mengerjakan soal-soal ujian.  Namun, guru juga harus mendidik, yaitu mengembangkan kepribadian siswanya, membantunya memecahkan masalah yang dihadapinya, serta menanamkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan mereka. Hal ini tentu tidak bisa dilakukan secara potong kompas. Seperti disebutkan dalam sebuah ungkapan: learning that has impact is not from head to head, but from heart to heart. Pembelajaran yang mempunyai dampak besar bagi kehidupan siswa di kemudian hari, bukanlah pembelajaran dari kepala ke kepala, tepai pembelajaran dari hati ke hati.Jadi, tugas guru bukan hanya mengajar, tapi juga mendidik.

Sudah saatnya sekarang bagi guru untuk tidak lagi terhegemoni oleh ujian nasional dan berani mengajar sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diajarkannya. Harus ada keberanian dari kepala sekolah dan penentu kebijakan dalam pendidikan untuk tidak lagi mendewakan ujian nasional dan memarginalkan pelajaran yang tidak diujinasionalkan. Kalau itu bisa dilakukan, maka keluaran pendidikan bukan hanya siswa yang memiliki nilai ujian nasional yang tinggi, tetapi juga siswa yang kreatif, inovatif, dan berkepribadianyang luhur. Bagaimana menurut Anda?

Mendidik Anak Bangsa di Luar Negeri

Terhitung sejak tahun lalu, saya mendapatkan amanah untuk menjadi kepala sekolah di Sekolah Indonesia Riyadh (SIR), sekolah kedutaan di ...