Monday, July 7, 2008

Kepemimpinan Sekolah Yang Kuat

Gerbong mutasi dan promosi kepala sekolah untuk tingkat SMP kembali bergerak di Jombang. Ada lima wajah baru yang segera mengemban amanah menjadi kepala sekolah. Semuanya ditempatkan di daerah pinggiran, di sekolah yang masih dalam pencarian identitas. Sebagian yang yang lain hanya bertukar tempat atau sekedar reposisi saja (Radar Mojokerto/Rabu, 19 Maret 2008).

Setiap kali ada pergantian kepemimpinan di sekolah, selalu diikuti oleh kecemasan dan rasa penasaran di pihak guru dan juga karyawan sekolah? Pemimpin baru seperti apakah yang akan menakhodai sekolah mereka beberapa tahun ke depan? Akankah ada perubahan-perubahan kebijakan sekolah yang drastis? Akankah mereka bekerja dalam irama yang berbeda dengan sebelumnya? Dsb. Kecemasan dan rasa penasaran itu wajar terjadi ketika ada pergantian kepemimpinan di sekolah. Mereka takut sekolah mereka akan menjadi sekolah seperti yang dideskripsikan Andy Hargraves dalam bukunya “Leadership Succession”, “the school is like early flying machine: repeatedly crashing just before taking off. Bahwa sekolah mereka laksana kapal terbang jaman baheula: yang selalu mengalami kecelakaan beberapa saat sebelum tinggal landas.

Menyadari kecemasan-kecemasan dan rasa penasaran di atas, penulis menyampaikan beberapa hal yang perlu dilakukan oleh seorang kepala sekolah agar kecemasan-kecemasan itu tidak endemik di setiap pergantian kepemimpinan sekolah dan usaha peningkatan mutu yang berkelanjutan tetap bisa terlaksana di sekolah siapapun yang sedang memimpin saat itu. Beberapa hal yang penulis maksudkan itu adalah: mengembangkan visi bersama, pemberdayaan komunitas sekolah, membagi kepemimpinan di sekolah, membuat perbedaan (making a difference).

Memiliki sebuah visi adalah ciri utama yang harus melekat pada seorang pemimpin. Visi ini akan menjadi panduan ke mana organisasi sekolah ini akan berjalan untuk mencapai tujuannya, yaitu: memberi pelayanan terbaik kepada konsumennya. Sebagian besar pencapaian gemilang sebuah organisasi adalah karena kekuatan visi yang dimiliki pemimpinnya. Jadi, hal pertama yang harus dilakukan seorang pemimpin sekolah adalah menentukan visi sekolah. Karena seperti dikatan de Vries dalam bukunya The Leadership Mystique, bahwa tidak akan ada kepemimipinan tanpa adanya visi.

Di dalam menentukan visi, harus mempertimbangkan nilai-nilai di masyarakat, trend yang ada di lingkungan sekolah dan global, dan juga kebijakan nasional dalam bidang pendidikan. Dengan kata lain kita harus mempertimbangkan realitas yang ada dalam menentukan visi sekolah. Visi yang dikembangkan tanpa mempertimbangkan realitas hanya akan membuahkan sinisme belaka. Dan yang lebih penting, visi sekolah tidak hanya dimiliki oleh kepala sekolah. Visi itu harus dimiliki oleh seluruh komponen sekolah bila cita-cita yang diinginkan dalam visi itu ingin menjadi sebuah kenyatan. Di sini, diperlukan kemampuan kepala sekolah untuk mendesiminasikan visi sekolah kepada seluruh komponen sekolah .

Ketika visi sekolah telah dipahami dan menjadi milik seluruh komponen sekolah, kesenjangan antara cita-cita dan realitas yang ada akan terlihat. Pada gilirannya, hal ini akan memberi energi dan semangat kepada seluruh komponen sekolah untuk berjuang mencapai cita-cita dan tujuan sekolah.

Setelah berhasil mendesiminasikan visi sekolah kepada seluruh komponen sekolah, hal berikut yang harus dilakukan oleh kepala sekolah adalah memberdayakan seluruh komponen sekolah. Hal ini menjadi penting karena sebaik apapun visi sekolah bila tidak ada pelaksanaan atau aktualisasinya, visi itu akan hanya menjadi mimpi di siang bolong. Oleh sebab itu, begitu visi sudah terdesiminasikan, tugas berikut dari kepala sekolah adalah menjamin visi itu menjadi kenyataan. Di sini, kemampuan memberdayakan seluruh komponen sekolah sangat diperlukan. Pemberdayaan semua komponen sekolah ini bisa diaktualisasikan dengan jalan membekali guru dengan pengetahuan, keterampilan, otoritas, sumberdaya, dan kesempatan untuk mengaktualisasikan potensinya. Hal ini memerlukan sense of generativity, yaitu kemauan kepala sekolah untuk membantu anak buahnya untuk berkembang dan maju.

Problem yang dihadapi sekolah sekarang ini jauh lebih kompleks dibanding beberapa tahun yang lalu. Perubahan yang cepat di masyarakat dalam segala segi memerlukan respon yang tepat dari sekolah kalau tidak ingin sekolah teralienasi dari masyarakat penggunanya.Kurikulum yang baru, manajemen sekolah yang baru, passing grade Ujian Nasional yang terus meningkat, membuat pekerjaan kepala sekolah bukan pekerjaan yang ringan.

Tidak lagi relevan membebankan semua tanggung jawab tadi kepada seorang kepala sekolah sendirian. Dalam situasi seperti ini, guru bisa mengambil perannya sebagai pemimpin dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang agenda penting sekolah. Dan seperti dikatakan oleh Newman dan Simmons dalam Jurnal Phi Delta Kappan No. 82 tahun 2000, bahwa pendidikan berkualitas bagi siswa akan bisa diberikan bila ada pembagian tanggung jawab kepemimpinan di sekolah. Dengan kata lain, kepemimpinan di sekolah bukan hanya monopoli kepala sekolah.

Mencermati fenomena di atas, tugas berikutnya dari seorang kepala sekolah adalah membagi tanggung jawab kepemimpinan di sekolah kepada seluruh komponen sekolah. Apabila hal ini bisa berjalan dengan baik, maka problem discontinuity of the school program karena pergantian kepemimpinan sekolah bisa diminimalkan. Kepergian kepala sekolah yang lama dan kedatangan kepala sekolah yang baru tidak memberikan pengaruh yang merugikan terhadap program peningkatan mutu yang telah dicanangkan sebelumnya.

Terakhir, sebagian besar kepala sekolah yang baru biasanya ditempatkan di sekolah pinggiran yang sedang mencari identitas atau ‘sekolah kelas dua’. Kenyataan ini membuat pekerjaan sebagai kepala sekolah bukan pekerjaan yang ringan. Perlu kerja keras dan kadang lompatan besar dari kepala sekolah untuk mengkompensasi ‘ketidakberuntungan’ yang mereka hadapi.

Dalam hal ini, kepala sekolah harus membuat sesuatu yang beda (something difference) tentang sekolahnya, sehingga sekolahnya tidak lagi dipandang sebelah mata. Ini bisa dilakukan melalui analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan yang dimiliki sekolah (analisis SWOT). Dari hasil analisis itu bisa ditentukan program sekolah yang bisa menjadi unggulan sekolah yang akhirnya sekolah bisa dilirik oleh masyarakat sekitarnya. Bukankah seperti dikatan bankir Mohtar riady, “Gunung tidak perlu tinggi yang penting ada dewanya; Sungai tidak perlu dalam yang penting ada naganya.” Jadi, buat sesuatu yang berbeda tentang sekolah anda yang membuat orang tertarik dengannya.

Keempat hal di atas, apabila bisa dilakukan dengan baik akan meminimalkan dampak dari suksesi kepemimpinan di sekolah dan menjamin usaha peningkatan mutu yang berkelanjutan. Sesuatu yang mudah didiskusikan tapi perlu kesungguhan untuk melakukannya. Selamat bekerja demi menyiapkan anak bangsa yang berkualitas.

Ujian Nasional Yang Sungguh Terlalu

Dalam beberapa hari terakhir ini kita disuguhi berita-berita tragis, menggelikan, dan absurd yang berkaitan dengan Ujian Nasional. Seorang kakek berusia 76 tahun di Kota Batu mengembuskan nafas yang terakhir karena kaget setelah mendengar dua cucunya tidak lulus dalam Ujian Nasional SMA yang diumumkan hari Sabtu yang lalu. Di bagian lain, kita melihat puluhan pelajar melakukan konvoi bersuka cita- yang kadang kelewat batas dan bikin geram aparat kepolisian- demi merayakan kelulusannya. Mereka merasa berhak melakukan itu untuk mengompensasi kecemasan yang telah menghantui mereka sejak mengikuti ujian nasional.

Sementara itu, ada orang yang terdiam dan terbengong-bengong menyaksikan kenylenehan hasil Ujian Nasional. Misalnya, di sebuah SMA swasta di Diwek Jombang, ada seorang siswa yang menonjol prestasi akademiknya, namun dinyatakan tidak lulus. Sementara itu, di sebuah SMA di Ploso Jombang, seorang siswa yang diketahui lemah dalam mata pelajaran eksakta ternyata memperoleh nilai sempurna 10 untuk mata pelajaran matematika. (Radar Mojokerto, Senin, 16 Juni 2008). Ada juga kasus unik yang terjadi pada Ujian Nasional tahun yang lalu. Seorang siswa yang juara Olimpiade Sains ternyata dinyatakan tidak lulus dalam Ujian Nasional. Namun, setelah mengikuti ujian kesetaraan paket C dan dinyatakan lulus, dia malah berhasil melanjutkan studi di perguruan tinggi luar negeri. Absurd.

Kenapa itu semua bisa terjadi? Kenapa siswa yang dalam kesehariannya menonjol prestasi akademiknya justru keok dalam Ujian Nasionalnya? Ada banyak alasan kenapa ini terjadi. Pertama, mungkin siswa dalam kondisi tidak fit ketika ujian. Kedua, siswa mungkin mengalami tekanan psikologis yang berat ketika mengikuti ujian. Ini karena, mungkin, orang tua sejak awal telah mengindoktrinasikan bahwa “Kamu harus lulus!”. Sementara, guru-guru di sekolahnya terus memberi warning bahwa Ujian Nasional akan semakin sulit karena passing grade dinaikkan dan jumlah mata pelajaran ditambah. Pesan- peasan yang disampaikan oleh orang tua dan juga guru yang diharapkan akan memotivasi belajar sang anak ternyata malah menjadi boomerang.

Siswa merasa, tiga hari ujian nasional akan menjadi saat yang sangat menentukan dalam hidupnya. Kegagalan untuk melakukan yang terbaik dalam tiga hari itu akan membuyarkan usaha yang telah dilakukannya selama tiga tahun. Beban psikologis ini sangatlah berat bagi siswa. Hal ini masih diperparah dengan overacting-nya pelaksanaan Ujian Nasional itu sendiri. Naskah soal harus selalu dalam pengawasan polisi. Di Makassar bahkan sampai harus melibatkan Densus 88 anti teror untuk mengamankan pelaksanaan Ujian Nasional. Keseraman-keseraman ini tak ayal lagi akan mempengaruhi konsentrasi siswa ketika menempuh ujian nasional.

Lantas, teori apa yang bisa menjelaskan kenapa siswa yang kesehariaanya biasa-biasa saja atau bahkan kurang namun ternyata mampu menyabet nilai sempurna? Jawaban yang paling aman adalah itu memang sudah” rejekinya”. Kalau jawaban yang sedikit suudzon, mungkin karena dia lihai menyontek atau bahkan dibantu gurunya. Di luar penjelasan yang dua tadi, tidak ada penjelasan lain yang masuk akal.

Mencermati fenomena-fenomena di atas tampaknya ada yang perlu diperbaiki dengan sistim pengujian yang dilaksanakan di negeri ini. Karena ternyata model yang dilaksanakan sekarang belum mencapai tujuan seperti yang diharapkan. Dengan diadakannya Ujian Nasional sebenarnya diharapkan akan diketahui standar kualitas pendidikan di Indonesia, namun kenyataanya yang diperoleh adalah angka- angka yang nyleneh yang diragukan atau bahkan ditertawakan sendiri oleh para guru.

Menurut hemat penulis, letak kesalahannya adalah menjadikan Ujian Nasional menjadi penentu kelulusan siswa. Dengan menempatkan Ujian nasional sebagai penentu kelulusan akan menyulitkan dalam memperoleh data yang akurat tentang kualitas pendidikan di negeri ini. Akan banyak faktor yang ikut atau memaksa ikut menentukan hasil ujian. Ketakutan guru dan orang tua siswa. Kecemasan pejabat yang membidangi pendidikan. Semua ikut mewarnai, baik secara positif maupun negatif, terhadap hasil ujian. Dus, kualitas sebenarnya dari seorang siswa akan tersamarkan.

Kalau Ujian Nasional tidak diharapkan sebagai penentu kelulusan, lantas ia harus kita posisikan sebagai apa? Menurut hemat penulis ada dua cara memosisikan Ujian Nasional. Pertama, Ujian Nasional dianggap sebagai alat untuk mengukur tingkat kualitas sumberdaya manusia sekaligus kualitas pendidikan di Indonesia. Dalam posisi ini Ujian Nasional tidak perlu diadakan pada akhir jenjang. Dia bisa diadakan pada saat siswa kelas 3, kelas 8, dan kelas 11 misalnya. Sebagai bandingan, Australia juga mempunyai pengujian kemampuan literasi dan numerasi yang diaadakan secara nasional. Namun keduanya tidak diadakan pada akhir jenjang. Jadi tidak ada beban psikologis yang mengiringi siswa ketika melakukan ujian itu. Dengan demikian, hasil ujian yang diperoleh akan menggambarkan dengan sebenarnya tingkat kemampuan siswa dan secara tidak langsung juga tingkat kualitas pendidikannya.

Kedua, kalau toh kita masih ingin memposisikan Ujian Nasional sebagai penentu bagi siswa untuk melanjutkan studi ke jenjang berikutnya, kenapa kita tidak memposisikan Ujian Nasional seperti tes TOEFL atau IELTS untuk mengukur kemampuan berbahasa Inggris misalnya. Maksud penulis, hasil Ujian Nasional hanya digunakan untuk masuk sekolah tertentu yang memang mensyaratkan. Dengan kata lain, siswa akan tetap lulus berapa pun nilai Ujian Nasional yang diperolehnya. Tetapi, untuk masuk ke sekolah tertentu, nilai Ujian Nasional yang dia peroleh yang akan berbicara. Dengan demikian siswa akan tetap termotivasi untuk belajar demi memperoleh nilai yang tinggi dalam Ujian Nasional agar supaya bisa masuk ke sekolah yang diinginkannya.

Dengan memosisikan Ujian Nasional seperti dipaparka di atas, diharapkan tidak akan ditemui lagi berita-berita yang tragis, menggelikan, dan absurd yang mengiringi pelaksanaan Ujian Nasional. Tidak didapati lagi orang yang ngedumel bahwa Ujian Nasional adalah kebijakan nasional di bidang pendidikan yang, meminjam ungkapan yang sering dilontarkan Sarim dan Samin dalam sinetron komedi “Si Entong”, sungguh terlalu! Bagaimana menurut Anda?

Mendidik Anak Bangsa di Luar Negeri

Terhitung sejak tahun lalu, saya mendapatkan amanah untuk menjadi kepala sekolah di Sekolah Indonesia Riyadh (SIR), sekolah kedutaan di ...