Sunday, July 28, 2019

Mendidik Anak Bangsa di Luar Negeri



Terhitung sejak tahun lalu, saya mendapatkan amanah untuk menjadi kepala sekolah di Sekolah Indonesia Riyadh (SIR), sekolah kedutaan di Kerajaan Saudi Arabia. Ini sebuah tantangan baru bagi saya, setelah kurang lebih 7 tahun menjadi kepala sekolah SMP di Jombang, Jawa Timur. Menjadi kepala sekolah Indonesia di luar negeri mempunyai fungsi ganda, di samping menjamin anak-anak Indonesia yang tinggal di luar negeri memperoleh pendidikan yang berkualitas sama dengan teman-temannya di tanah air, pada saat yang sama juga mempunyai tugas membantu perwakilan untuk mengenalkan budaya Indonesia pada masyarakat Saudi Arabia dan masyarakat asing lainnya.
Berikut, saya ingin berbagi pengalaman saya tentang bagaimana menjamin pendidikan berkualitas bagi anak-anak bangsa di Riyadh. Banyak tantangan yang harus dihadapi demi memberikan pendidikan yang baik: kondisi guru dan tenaga kependidikan, keterbatasan sarana dan prasarana, dan  keterbatasan waktu belajar.

Guru-guru yang mengajar di sekolah, sebagian merupakan guru rekrutan lokal atau direkrut oleh perwakilan dan sebagian lagi guru-guru yang dikirim oleh Kemdikbud, yaitu guru-guru hasil seleksi yang diadakan di Jakarta. Kondisi ini kadang menimbulkan kesenjangan dari sisi kulaitas dalam memberikan pembelajaran. Kondisi ini bisa mempengaruhi konsistensi model pembelajaran yang diterapkan di kelas, yang kadang membuat bingung siswa dan akhirnya menuai protes dari orangtua.

Latar belakang guru yang beragam tentu menjadi masalah tersendiri karena kesuksesan pembelajaran akan lebih terjamin apabila guru-guru di sekolah tersebut mempunyai pemahaman yang sama tentang konsep pembelajaran, ada school-wide pedagogy. Oleh sebab itu, selaku kepala sekolah saya harus mendorong terjadinya pengimbasan komptensi pedagogik di antara guru. Tahun ini, kami merancang kegiatan kaji pembelajaran (lesson study) untuk guru-guru kelas awal dan guru-guru kelas tinggi untuk jenjang sekolah dasar. Dengan harapan akhirnya guru-guru akan bisa memberikan kualitas pembelajaran yang sama kepada anak-anak. Di samping itu, untuk meningkatkan kompetensi guru, bekerjasama dengan atase pendidikan KBRI Riyadh, kami juga melaksanakan pelatihan-pelatihan guru dengan mendatangkan nara sumber dari Indonesia.

Tantangan kedua untuk memberikan pendidikan berkualitas adalah terbatasnya sarana dan prasarana sekolah. Jangan dibayangkan gedung sekolah Indonesia di Riyadh sama dengan gedung-gedung sekolah di Indonesia pada umumnya: mempunyai ruang kelas standar, ada ruang guru yang memadai, perpustakaan, ruang laboratorium, serta ruang kepala sekolah yang memadai. Gedung yang kami tempati sekolah sebenarnya adalah rumah yang disulap jadi gedung sekolah. Jadi, ruang belajar anak-anak adalah kamar-kamar yang tidak terlalu luas, yang cukup berdesakan untuk ditempati sekitar 15 siswa. Demikian juga dengan ruang-ruang lainnya, masih jauh dari Standar Pelayanan Minimal (SPM). Namun demikian, kami tidak boleh menyerah, kami tetap harus menjamin anak-anak bisa belajar dengan nyaman. Kami mendorong anak-anak untuk membuat kelas mereka nyaman untuk belajar. Mereka berlomba mendekorasi kelasnya masing-masing sehingga mereka merasa nyaman belajar di dalamnya.



Satu lagi tantangan yang berkaitan dengan sarana dan prasarana sekolah adalah aturan tentang gedung yang layak untuk sekolah sesuai aturan pemerintah Saudi Arabia. Meskipun Sekolah Indonesia Riyadh (SIR) adalah sekolah kedutaan, kami tetap harus mengikuti aturan-aturan pemerintah setempat untuk aspek tertentu, seperti gedung sekolah. Ini yang kadang cukup memusingkan. Aturan pemerintah Arab Saudi cukup ketat, misal jalan di depan dan samping sekolah lebarnya minimal harus 20 meter, lokasi parkir luasnya harus sekian meter persegi, semua alarm pemadam kebakaran harus berfungsi baik dan sebagainya. Semua memang untuk kenyamanan dan keamanan siswa, namun kadang sulit untuk bisa memenuhi semua kriterianya.

Tantangan berikutnya yang kami hadapi di Sekolah Indonesia Riyadh (SIR) adalah keterbatasan waktu belajar. Sesuai aturan pemerintah Saudi, sekolah di Riyadh menerapkan 5 hari sekolah, hari Jumat dan Sabtu adalah hari libur. Di samping itu, pembelajaran setiap harinya tidak boleh melebihi jam 2 siang. To make it worse, sekolah juga harus mengalokasikan jam pelajaran untuk muatan lokal bahasa Arab dan Geografi Arab. Jadi, jumlah jam pelajaran yang makin banyak, harus diakomodasi dalam 5 hari belajar dan tidak boleh lebih dari jam 2 siang. Tentu ini sangat memusingkan, belum lagi dengan alokasi waktu untuk kegiatan pembiasaan sebagaimana sekolah-sekolah di Indonesia. Dengan kondisi seperti itu, maka alokasi waktu per jam pelajarannya untuk siswa SMA  hanya 35 menit, ini jauh di bawah alokasi waktu seharusnya: 45 menit.


Keterbatasan waktu belajar ini semakin diperparah dengan posisi sekolah yang juga harus berperan sebagai agen budaya di negara akreditasi. Anak-anak harus sering tampil mengisi acara-acara pengenalan budaya Indonesia kepada masyarakat Saudi dan juga masyarakat asing. Kegiatan-kegiatan ini, tentu saja, akan menggerus kesempatan anak-anak untuk tatap muka dengan gurunya. Untuk mengompensasi hal ini, kami menggunakan fasilitas google classroom untuk untuk pembelajaran. Setiap guru mata pelajaran saya dorong untuk membuat Whatsapp Group, sehingga anak-anak masih tetap bisa bertanya dan berdiskusi tentang materi pelajaran yang telah dipelajari dengan guru dan teman-teman lainnya walaupun mereka sudah tidak berada pada tempat yang sama. Ada pengalaman, beberapa bulan yang lalu, ketika saat Penilaian Akhir Tahun (PAT), sebagian siswa pada saat sama harus mengisi kegiatan budaya di luar kota, yang jaraknya sekitar 4 jam perjalanan dengan mobil selama 4 hari. Tapi, karena ulangan yang kita lakukan sudah menggunakan sistim online, maka anak-anak masih tetap bisa mengikuti ulangan pada saat bersamaan dengan teman-teman mereka di sekolah, karena mereka hanya tampil dalam kegiatan itu waktu malam.

Demikian tantangan memberikan pendidikan berkualitas bagi anak bangsa di luar negeri. Pada kesempatan lain, insyaalloh saya akan berbagi pengalaman tentang serunya memimpin sekolah yang mempunyai tugas mengenalkan dan melestarikan budaya Indonesia di luar negeri.

                                                                                            

Wednesday, September 3, 2014

Implementasi Kurikulum 2013: Bukan Hanya Masalah Buku



            Pada tahun pelajaran 2014/2015 ini seluruh sekolah serentak mengimplementasikan kurikulum 2013. Di SD dilaksanakan pada kelas 1-2 dan kelas 4-5, di SMP pada  kelas 7-8, dan di SMA pada kelas 10-11. Ada empat elemen yang berubah pada kurikulum 2013 jika dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Perubahan itu meliputi: standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian. Namun sangat disayangkan proses perubahan itu tidak berjalan mulus walaupun sudah dilakukan persiapan-persiapan sebelumnya.
            Sejumlah kalangan menilai, implementasi kurikulum 2013 bisa gagal karena berbagai faktor, diantaranya karena transisi pemerintahan (Radar Jombang, Rabu, 3 September 2014). Dan yang paling banyak disorot oleh media, baik cetak maupun elektronik, adalah belum tersedianya buku untuk siswa maupun untuk guru karena ada sedikit permasalahan dalam proses pengadaannya.
Elemen perubahan lainnya juga tidak kalah penting untuk dicermati. Dengan kata lain, kalau pemahaman guru tentang dua elemen perubahan yang lainnya, yaitu standar proses dan standar penilaian sesuai dengan kurikulum 2013 sudah memadai, masalah belum tersedianya buku tidak lagi krusial.
            Karena sebenarnya, konten materi pembelajaran kurikulum 2013 tidak jauh berbeda dengan konten materi kurikulum sebelumnya, kecuali pada beberapa mata pelajaran tertentu. Guru masih bisa menggunakan bahan ajar dari buku-buku sebelumnya. Namun, proses pembelajaran dan penilaiannya harus disesuaikan dengan standar proses dan standar penilaian kurikulum 2013. Dengan demikian, pemahaman guru akan standar proses dan standar penilaian kurikulum 2013 sangat penting.
Ada perbedaan proses pembelajaran yang cukup signifikan pada kurikulum 2013 jika dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Paradigma pembelajaran kurikulum 2013 yang menggunakan pendekatan saintifik dengan langkah-langkah: mengobservasi, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan adalah hal baru bagi sebagian besar guru. Pendekatan ini mengharuskan guru memfasilitasi peserta didik untuk menemukan sendiri pengetahuan baru yang dipelajari. Siswa tidak lagi diberitahu, tapi siswa didorong untuk mencari tahu. Guru harus melatih critical thinking dan meningkatkan rasa ingin tahu (curiousity)  siswa. Hal ini menjadi sulit bagi guru karena sebagian besar guru jarang bahkan tidak pernah melakukannya dalam pembelajaran mereka sebelumnya.
            Dalam hal penilaian juga terjadi perubahan yang cukup besar. Pada kurikulum sebelumnya, guru melaporkan hasil belajar peserta didik kepada orangtua mereka dalam bentuk nilai tunggal tiap mata pelajaran. Kurikulum 2013 mengharuskan guru melaporkan hasil pencapaian kompetensi peserta didik untuk masing-masing mata pelajaran dalam tiga ranah, yaitu: sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Selain itu, guru juga harus membuat deskripsi pencapaian kompetensi peserta didik untuk masing-masing ranah tersebut. Hal ini, tentu saja, bukan hal yang mudah bagi guru.
            Sebenarnya hampir semua guru sudah mendapatkan pelatihan tentang pendekatan saintifik dalam pembelajaran. Guru juga sudah mendapatkan pelatihan bagaimana menilai perkembangan kompetensi peserta didik. Namun, apa yang bisa didapat dengan pelatihan yang hanya berlangsung kurang lebih satu pekan itu?
Mau tidak mau, guru harus menambah pengetahuannya sendiri tentang penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran dan juga belajar praktik menilai kompetensi siswa dalam ketiga ranah yang telah disebutkan.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebenarnya telah menerbitkan panduan-panduan yang bisa dipelajari, misalnya: Panduan Penguatan Proses Pembelajaran, Panaduan Mata Pelajaran untuk masing-masing mata pelajaran, dan Panduan Penilaian Pencapaian Kompetensi Peserta Didik. Dalam ketiga buku itu dijelaskan secara detil penerapan pendekatan saintifik untuk masing-masing mata pelajaran dan bagaimana menilai kompetensi siswa dalam ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Namun sayang, tampaknya banyak guru yang belum membaca panduan-panduan itu. Ini juga terkait dengan masih rendahnya budaya membaca di kalangan guru.
            Pada sisi lain, keengganan guru untuk menyesuaikan dengan perubahan kurikulum ini juga terasa. Mereka beranggapan pendekatan ini sulit diterapkan. Mereka enggan keluar dari zona nyaman mereka dalam mengajar selama ini. Dalam situasi seperti ini, peran penting seorang kepala sekolah dalam mengawal perubahan kurikulum ini menjadi penting.
Kepala sekolah sebagai agen perubahan harus bisa menjamin dan memfasilitasi perubahan ini. Diskusi yang terus-menerus akan membantu pemahan guru akan pendekatan pembelajaran dan penilaian yang baru. Kepala sekolah harus bisa menjadikan perubahan paradigma pembelajaran dan penilaian ini sebagai trending topic pembicaraan-pembicaraan di sekolah, baik secara informal maupun secara formal melalui kegiatan rapat dinas pembinaan.
            Kepala sekolah harus menjadikan sekolahnya sebagai komunitas belajar yang profesional (Professional Learning Community). Beban perubahan ini akan sangat berat kalau harus ditanggung oleh guru sendiri. Melaui diskusi-diskusi yang intens, walau dalam suasana yang tidak formal, pemahaman akan standar proses dan standar penilaian akan meningkat.
Kegiatan kaji pembelajaran (lesson study) perlu ditradisikan. Dalam kegiatan itu, secara kolaboratif dengan teman sejawat, guru menyusun rencana pembelajaran dan penilaian sesuai kurikulum 2013. Setelah itu guru mencobakannya di kelas dengan diamati oleh teman sejawatnya. Permasalahan-permasalahan yang muncul dicatat dan didiskusikan sebagai bahan perbaikan.
Dengan ikhtiar-ikhtiar yang disebutkan tadi, harapannya, pemahaman guru terhadap kurikulum 2013 semakin baik. Dan guru tak perlu lagi galau walau buku yang ditunggu-tunggu belum juga datang. Bagaimana menurut Anda?

Saturday, February 15, 2014

Meluruskan Tugas Guru



Ujian Nasional bagi siswa SMA dan SMP akan berlansung pada akhir April dan awal Mei tahun ini. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan ujian nasional selalu disambut dengan perasaan cemas oleh bukan hanya siswa, tapi juga para guru dan orangtua siswa. Kecemasan itu pada akhirnya akan mempengaruhi proses bagaimana guru dan orangtua membelajarkan anak-anak mereka.

Tidak jarang kita temui orangtua yang memaksa anaknya untuk mengikuti kegiatan les atau pembelajaran tambahan di berbagai tempat. Tujuannya hanya satu, membuat anak-anak mereka sukses mendapatkan nilai yang baik dalam ujian nasional. Yang karena kegiatan itu, anak-anak telah kehilangan haknya untukbermain dan bersosialisasi secara wajar dengan lingkungannya. Waktu mereka habis untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian nasional.

Bukan hanya orangtua, guru pun juga tidak kalah paniknya. Di sekolah, mereka mengadakan kegiatan pembelajaran tambahan. Ujicoba ujian nasional juga dilakukan berulang-ulang. Dan tak lupa, segala macam trik mengerjakan soal dimantapkan untuk dikuasai siswa. Bahkan, tak jarang trik-trik licik juga ikut diajarkan kepada siswa: bagaimana membantu siswa yang lain atau sebaliknya, bagaimana mencari contekan dari siswa yang lain. Dari sinilah, malpraktik pembelajaran bermula dan  kegiatan yang anti-pedagogi mulai terjadi.

Guru tidak lagi mengajar sesuai dengan karakteristik mata pelajarannya. Guru hanya fokus mempersiapkan siswa-siswinya agar bisa menyelesaikan soal-soal ujian nasionalnya dengan baik. Dalam proses pembelajaran di kelas, aspek pengetahuan mendapat porsi yang lebih besar, kalau tidak boleh dibilang total, dibandingkan dengan dua aspek lainnya: keterampilan dan sikap.
Alur pembelajaran ideal, di mana siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui kegiatan mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan membuat jejaring tidak terlaksana. Yang terjadi adalah: potong kompas. Memfokuskan mempelajari materi yang biasanya keluar dalam ujian nasional dan menghapal trik-trik untukmengeksekusi soalnya.

Budaya potong kompas ini pada akhirnya akan melahirkan mentalitasinstan dan menihilkan kreatifitas. Budaya instan yang terjadi pada dunia pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologis peserta didik, khususnya berkaitan dengan rasa percaya dirinya. Hal ini menunjukkan telahterjadinya reduksi tujuan pendidikan nasional. Artinya, bahwa apa yang ingin dicapai melalui sistim pendidikan kita, tidak memiliki korelasi yang berbanding lurus dengan perilaku guru, siswa, maupun orangtua.

Sekolah, sadar atau tidak,juga telah mereduksi standar kompetensi lulusan (SKL) yang seharusnya dicapai siswa. Menurut kurikulum yang berlaku, kompetensi yang harus dikuasai siswa agar bisa lulus dari satuan pendidikan mencakup ranah pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Namun yang terjadi adalah ketidakseimbangan dalam pengembangannya. Mata pelajaran yang masuk ranah keterampilan dan sikap, yang tidak diujinasionalkan, seolah dianaktirikan. Tidak mendapatkan penanganan yang serius, dan bahkan dalam beberapa sekolah dikurangi jumlah jam pelajarannya atau bahkan dihilangkan. 

Sebenarnya, pembelajaran mata pelajaran pada ranah keterampilan dan sikap tidaklah kalah pentingnya. Kehalusan budi, tenggang rasa, mau menghargai orang lain, sportif, dan kemauan mengapresiasi pencapaian orang lain bisa dipupuk lewat mata pelajaran seperti seni budaya, keterampilan, olahraga, atau muatan lokal bahasa jawa. Softskill semacam itu sangat diperlukan bagi harmonisasi kehidupan di masyarakat. Namun, dengan memfokuskan kegiatan pembelajaran hanya untuk mencapai hasil yang baik dalam ujian nasional, keterampilan-keterampilan penting itu akhirnya tidak terkembangkan. Fenomena kenakalan remaja dan anarkisme dalam menyampaikan aspirasi dan pendapat yang sering kita saksikan, bisa jadi, berakar dari apa yang telah terjadi di kelas-kelas di sekolah kita.

Kembali ke khittah.
Sudah saatnya sekarang bagi guru untuk merenungi kembali tugas pokok dan fungsinya.Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dikatakan bahwa “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. 

Dalam tugas pokok guru tersebut terkandung makna bahwa tugas guru bukan hanya mengajar, yaitu membuat siswa mahir dalam pengetahuan, mahir dalam mengerjakan soal-soal ujian.  Namun, guru juga harus mendidik, yaitu mengembangkan kepribadian siswanya, membantunya memecahkan masalah yang dihadapinya, serta menanamkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan mereka. Hal ini tentu tidak bisa dilakukan secara potong kompas. Seperti disebutkan dalam sebuah ungkapan: learning that has impact is not from head to head, but from heart to heart. Pembelajaran yang mempunyai dampak besar bagi kehidupan siswa di kemudian hari, bukanlah pembelajaran dari kepala ke kepala, tepai pembelajaran dari hati ke hati.Jadi, tugas guru bukan hanya mengajar, tapi juga mendidik.

Sudah saatnya sekarang bagi guru untuk tidak lagi terhegemoni oleh ujian nasional dan berani mengajar sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diajarkannya. Harus ada keberanian dari kepala sekolah dan penentu kebijakan dalam pendidikan untuk tidak lagi mendewakan ujian nasional dan memarginalkan pelajaran yang tidak diujinasionalkan. Kalau itu bisa dilakukan, maka keluaran pendidikan bukan hanya siswa yang memiliki nilai ujian nasional yang tinggi, tetapi juga siswa yang kreatif, inovatif, dan berkepribadianyang luhur. Bagaimana menurut Anda?

Tuesday, October 22, 2013



                                                      Brostel
Pagi 15 September, aku putuskan untuk check out dari hotel lebih awal. Sudah dua hari meninggalkan sekolah untuk mengikuti diklat kepala sekolah. Aku merasa, ketidakhadiranku di sekolah yang terlalu lama akan berakibat kurang baik. Banyak pekerjaan terbengkalai, suasana sekolah menjadi tidak kondusif untuk belajar, dan sebagainya, dan sebagainya. Pokoknya, aku merasa kehadiranku di sekolah selaku kepala sekolah sangatlah penting! Jadi, aku harus pulang pagi-pagi, hingga nanti masih sempat ke sekolah.
Kutancap gas Hyundaiku, melaju mengikuti alur jalanan Batu- Jombang yang berkelok dan sesekali menanjak dan menurun. Dalam perjalanan, aku mengobrol dengan 3 teman kepala sekolah yang semobil denganku tentang bagaimana mengelola sekolah sambil sesekali ngrasani perilaku teman-teman guru di sekolah. Kesimpulan umumnya: peran kepala sekolah sangatlah vital terhadap kemajuan sekolah. Oleh sebab itu: keputusan untuk cabut dari hotel pagi-pagi benar-benar tepat, karena sekolah betul-betul membutuhkan kehadiran kepala sekolah.
Setelah setengah jam perjalanan, Pujon telah terlampaui. Ajakan salah satu teman untuk berhenti dulu sebentar untuk sekedar minum susu segar di koperasi susu “Sae” di Pujon aku tolak. Kita harus cepat nyampai Jombang, sehingga bisa langsung ke sekolah. Aku merasa kehadiranku di sekolah sangatlah penting.
Kami terus melaju. Dewi Sri sudah mulai ramai dengan pedagang sayur dan buahnya. Seperempat jam turun dari Dewi Sri, aku merasa ada yang tidak beres dengan mobilku. Ia seperti kehabisan tenaga. Tak mau lagi kuajak berpacu dengan waktu yang berjalan cepat dengan harapan segera sampai di Jombang. Dan akhirnya, Hyundaiku benar-benar menyerah. Ia mogok di tengah jalan, empat kilometer sebelum Selorejo.
Mobil aku tepikan. Kucoba untuk men-startnya lagi, namun gagal. Kucoba berulang-ulang namun hasilnya tetap nihil. Akhirnya, aku menyerah. Namun, Alloh tampaknya sangat sayang kepadaku. Tanpa aku minta, ada seorang ibu setengah baya yang menawarkan memanggilkan tukang servis. Tentu saja aku menerimanya dengan senang hati. Bahkan, ketika menunggu tukang servis datang,  si Ibu itu meminta kami untuk beristirahat di rumahnya, lengkap dengan suguhan teh hangat dan kue-kuenya. Hari itu aku benar-benar merasa sangat disayang oleh Alloh.
Satu jam kemudian tukang servis datang. Aku ceritakan semua kondisi awalnya. Lampu indikator batere yang tetap menyala ketika mesin sudah menyala. Aku tidak paham gejala apa itu, karena pemahamnku tentang otomotif sangat rendah. Setelah mendengar penjelasanku, pak tukang servis berkesimpulan kalau dinamo ampere mobilku bermasalah. Maka, digantilah aki mobilku dengan aki milik pak tukang servis. Ketika mobil sudah menyala, langsung kami melaju ke servis dinamo ampere di sekita Selorejo.
Setelah dinamo ampere dibongkar ternyata brostelnya sudah aus dan harus diganti. Brostel ini ukurannya kecil dan harganya cukup murah. Setelah dikerjakan selama 45 menit, mobilku bisa distart kembali dan kondisinya normal. Segera aku bayar ongkos servisnya. Ternyata hanya 60.000 ruapiah termasuk penggantian alatnya. Aku kaget, kok cuma segitu!!!
Aku sudah tak sabar lagi untuk bisa cepat sampai di sekolah. Bukan karena kehadiranku di sekolah selaku kepala sekolah sangatlah penting, tapi aku ingin bilang kepada semua teman di sekolah bahwa mereka semua penting. Guru-guru penting. Staf dan karyawan penting. Pak bon penting. Satpam penting. Semua warga sekolah penting. Sama pentingnya dengan kepala sekolah. Seperti sebuah brostel, walau harganya murah dan wujudnya kecil, dia dapat membuat mobilku ngadat tidak bisa jalan.
Alloh hari itu, telah mengajariku untuk tidak sombong dan merasa sok penting lewat sebuah brostel!!!


Mendidik Anak Bangsa di Luar Negeri

Terhitung sejak tahun lalu, saya mendapatkan amanah untuk menjadi kepala sekolah di Sekolah Indonesia Riyadh (SIR), sekolah kedutaan di ...