Saturday, February 15, 2014

Meluruskan Tugas Guru



Ujian Nasional bagi siswa SMA dan SMP akan berlansung pada akhir April dan awal Mei tahun ini. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan ujian nasional selalu disambut dengan perasaan cemas oleh bukan hanya siswa, tapi juga para guru dan orangtua siswa. Kecemasan itu pada akhirnya akan mempengaruhi proses bagaimana guru dan orangtua membelajarkan anak-anak mereka.

Tidak jarang kita temui orangtua yang memaksa anaknya untuk mengikuti kegiatan les atau pembelajaran tambahan di berbagai tempat. Tujuannya hanya satu, membuat anak-anak mereka sukses mendapatkan nilai yang baik dalam ujian nasional. Yang karena kegiatan itu, anak-anak telah kehilangan haknya untukbermain dan bersosialisasi secara wajar dengan lingkungannya. Waktu mereka habis untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian nasional.

Bukan hanya orangtua, guru pun juga tidak kalah paniknya. Di sekolah, mereka mengadakan kegiatan pembelajaran tambahan. Ujicoba ujian nasional juga dilakukan berulang-ulang. Dan tak lupa, segala macam trik mengerjakan soal dimantapkan untuk dikuasai siswa. Bahkan, tak jarang trik-trik licik juga ikut diajarkan kepada siswa: bagaimana membantu siswa yang lain atau sebaliknya, bagaimana mencari contekan dari siswa yang lain. Dari sinilah, malpraktik pembelajaran bermula dan  kegiatan yang anti-pedagogi mulai terjadi.

Guru tidak lagi mengajar sesuai dengan karakteristik mata pelajarannya. Guru hanya fokus mempersiapkan siswa-siswinya agar bisa menyelesaikan soal-soal ujian nasionalnya dengan baik. Dalam proses pembelajaran di kelas, aspek pengetahuan mendapat porsi yang lebih besar, kalau tidak boleh dibilang total, dibandingkan dengan dua aspek lainnya: keterampilan dan sikap.
Alur pembelajaran ideal, di mana siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui kegiatan mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan membuat jejaring tidak terlaksana. Yang terjadi adalah: potong kompas. Memfokuskan mempelajari materi yang biasanya keluar dalam ujian nasional dan menghapal trik-trik untukmengeksekusi soalnya.

Budaya potong kompas ini pada akhirnya akan melahirkan mentalitasinstan dan menihilkan kreatifitas. Budaya instan yang terjadi pada dunia pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologis peserta didik, khususnya berkaitan dengan rasa percaya dirinya. Hal ini menunjukkan telahterjadinya reduksi tujuan pendidikan nasional. Artinya, bahwa apa yang ingin dicapai melalui sistim pendidikan kita, tidak memiliki korelasi yang berbanding lurus dengan perilaku guru, siswa, maupun orangtua.

Sekolah, sadar atau tidak,juga telah mereduksi standar kompetensi lulusan (SKL) yang seharusnya dicapai siswa. Menurut kurikulum yang berlaku, kompetensi yang harus dikuasai siswa agar bisa lulus dari satuan pendidikan mencakup ranah pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Namun yang terjadi adalah ketidakseimbangan dalam pengembangannya. Mata pelajaran yang masuk ranah keterampilan dan sikap, yang tidak diujinasionalkan, seolah dianaktirikan. Tidak mendapatkan penanganan yang serius, dan bahkan dalam beberapa sekolah dikurangi jumlah jam pelajarannya atau bahkan dihilangkan. 

Sebenarnya, pembelajaran mata pelajaran pada ranah keterampilan dan sikap tidaklah kalah pentingnya. Kehalusan budi, tenggang rasa, mau menghargai orang lain, sportif, dan kemauan mengapresiasi pencapaian orang lain bisa dipupuk lewat mata pelajaran seperti seni budaya, keterampilan, olahraga, atau muatan lokal bahasa jawa. Softskill semacam itu sangat diperlukan bagi harmonisasi kehidupan di masyarakat. Namun, dengan memfokuskan kegiatan pembelajaran hanya untuk mencapai hasil yang baik dalam ujian nasional, keterampilan-keterampilan penting itu akhirnya tidak terkembangkan. Fenomena kenakalan remaja dan anarkisme dalam menyampaikan aspirasi dan pendapat yang sering kita saksikan, bisa jadi, berakar dari apa yang telah terjadi di kelas-kelas di sekolah kita.

Kembali ke khittah.
Sudah saatnya sekarang bagi guru untuk merenungi kembali tugas pokok dan fungsinya.Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dikatakan bahwa “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. 

Dalam tugas pokok guru tersebut terkandung makna bahwa tugas guru bukan hanya mengajar, yaitu membuat siswa mahir dalam pengetahuan, mahir dalam mengerjakan soal-soal ujian.  Namun, guru juga harus mendidik, yaitu mengembangkan kepribadian siswanya, membantunya memecahkan masalah yang dihadapinya, serta menanamkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan mereka. Hal ini tentu tidak bisa dilakukan secara potong kompas. Seperti disebutkan dalam sebuah ungkapan: learning that has impact is not from head to head, but from heart to heart. Pembelajaran yang mempunyai dampak besar bagi kehidupan siswa di kemudian hari, bukanlah pembelajaran dari kepala ke kepala, tepai pembelajaran dari hati ke hati.Jadi, tugas guru bukan hanya mengajar, tapi juga mendidik.

Sudah saatnya sekarang bagi guru untuk tidak lagi terhegemoni oleh ujian nasional dan berani mengajar sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diajarkannya. Harus ada keberanian dari kepala sekolah dan penentu kebijakan dalam pendidikan untuk tidak lagi mendewakan ujian nasional dan memarginalkan pelajaran yang tidak diujinasionalkan. Kalau itu bisa dilakukan, maka keluaran pendidikan bukan hanya siswa yang memiliki nilai ujian nasional yang tinggi, tetapi juga siswa yang kreatif, inovatif, dan berkepribadianyang luhur. Bagaimana menurut Anda?

Mendidik Anak Bangsa di Luar Negeri

Terhitung sejak tahun lalu, saya mendapatkan amanah untuk menjadi kepala sekolah di Sekolah Indonesia Riyadh (SIR), sekolah kedutaan di ...