Saturday, August 6, 2011

Mengejar Gus Ipul


Selasa malam, ramadhan kedua, sekitar jam 10 telpon selulerku berdering. Dengan agak sedikit dongkol karena barusan ketiduran karena capek seharian melakukan seabreg aktifitas, aku angkat panggilan itu.
 “Mas, Gus Ipul akan datang ke masjid kita hari Sabtu. Kita siap nggak?” suara pak Kepala Dusun dari ujung telpon, “Aku baru saja ditelpon Pak Lurah, kalau kita siap, beliau akan dihadirkan di masjid kita, kalau tidak siap ya akan dialihkan ke masjid lain,” sambung pak Kepala Dusun. Tanpa berpikir panjang aku jawab, “Ya, kita siap.” 

Kapan lagi dusunku akan dikunjungi pejabat. Saya rasa ini kesempatan langka. Dan saya yakin kedatangan pejabat sedikit banyak akan membawa berkah bagi dusun kami. Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku mulai merancang apa yang harus aku lakukan sebagai ketua ta’mir untuk menyiapkan penyambutan kadatangan wakil gubernur kita itu. Aku ini mungkin tipe orang dominan otak kiri, walau tadi ketika menjawab telpon aku jadi sedikit kanan, sehingga aku harus menyusun rancangan secara detil: besok pagi aku hubungi semua pengurus ta’mir, mendiskusikan lewat telpon tentang persiapan, malam hari setelah taraweh ketemu ketua Ansor yang menjadi sponsor acara, sepulang dari menemui ketua Ansor, sekitar jam 10 malam, bertemu dengan pengurus ta’mir dan beberapa tokoh masyarakat. Karena ini sudah H-4 dari jadwal kedatangan.

Alhamdulillah semua planning berjalan baik. Dari Ansor dapat dukungan dana untuk sewa tenda dan takjil buka puasa. Tokoh masyarakat sangat antusias mendukung acara itu. Ibu-ibu dengan semangat merancang menu buka puasa untuk para tamu, yang diperkirakan sampai 500 orang. Bapak-bapak merancang di mana harus dibuat tempat wudlu darurat supaya orang tidak berjubel ketika ambil air wudlu untuk jamaah ashar bersama sang wagub yang juga ketua PBNU itu. Anak-anak muda remaja masjid sibuk merancang lokasi untuk parkir kendaraan tamu dan rombongan Gus Ipul, sekaligus membagi personil siapa harus bertugas di mana. Seksi perlengkapan sibuk menelpon pesan tenda dan sound system. Sekretaris ta’mir di depan laptopnya membuat undangan untuk diumumkan di masjid-masjid sekitar, juga pemberitahuan ke sekolah-sekolah di desa kami untuk mempersiapkan murid-muridnya untuk menyambut kedatangan sang tamu. Jadilah serambi masjid malam itu seperti pasar malam, ramai. Kami begadang sampai jam 12 malam. Tak terasa sudah masuk hari Kamis, H-3 acara.

Kamis malam kami berkumpul lagi untuk checking kesiapan. Semua berjalan dengan baik. Tenda dan soundsystem sudah terpesan dan siap dipasang Jum’at jam 2 siang. Seksi konsumsi akhirnya menyerah, tidak sanggup kalau harus masak sendiri, dan akhirnya pesan di katering saja. Sekretaris sudah membawa segepok undangan yang akan dibagikan besok. Dus, 90 persen kami sudah siap menyambut kedatangan Gus Ipul.
Lega rasanya ketika persiapan lancar dan beres. Walau itu dicapai lewat kerja keras dan harus pontang panting. Walau malam itu rapat jam 10 sudah selesai, namun teman-teman belum mau pulang. Mereka sibuk membicarakan apa yang terjadi. “Kita seperti dapat lailatul Qadar saja, kedatangan Gus Ipul dalam waktu yang sangat mendadak dan tanpa disangka-sangka. Mudah-mudahan membawa berkah.”, ujar salah satu teman pengurus ta’mir. Dan setelah itu masing-masing sibuk mengutarakan skenarionya apa yang akan dilakukan ketika bertemu pak wagub dua hari lagi. Sekretaris ta’mir menyodorkan proposal untuk saya baca dan tanda-tangani: minta bantuan untuk meneruskan membangun teras belakang masjid yang belum selesai dan persiapan gedung untuk TPQ, “Siapa tahu direspon sama Gus-nya, Mas,” katanya sambil nyengir. Ya..ya...ya...., semua teman yang lain mengamini. Lagi, jam 12 malam kami baru pulang dari masjid.

Besoknya, Jumat, H-1 acara, sehabis jamaah Jumat, kami tidak langsung pulang. Kami bersiap untuk mulai kerja bakti menyiapkan tempat. Sebentar lagi terop dan sound system akan datang. Tapi tiba-tiba telpon selulerku berdering. “Harap cepat ke Hotel Fatma untuk ketemu Gus Ipul.”. Wah ini pasti mau merundingkan skenario besok, pikirku. Karena harus bersiap-siap dan menghubungi beberapa teman lain kami baru bisa berangkat ke hotel satu jam kemudian. Di tengah perjalanan teleponku berdering lagi tanda ada pesan masuk. Karena aku harus nyetir mobil, sms dibuka oleh pak kepala dusun yang duduk di sebelahku. Haahhhhh!!!!!!!. Dia berteriak yang mengakibatkan seisi mobil kaget. Gus Ipul gak jadi datang, begitu isi sms.
Seperti gak percaya, semua saling berpandangan. Lho...koq bisa???. Ada apa????? Mobil aku tepikan. Seperti kesambar petir rasanya. Kupandangi wajah teman-temanku yang kecewa. “Oke, kita ke hotel saja. Supaya kita tahu apa penyebab kegagalan acara ini,” kataku. Lima menit kemudian kami nyampai di hotel. Kulihat lobi hotel sudah sepi. Gus Ipul pasti sudah tidak ada di sini. Seorang anak muda, sambil menelpon lewat ponselnya, mempersilahkan kami duduk. “Lima menit lalu rombongan Bapak berangkat. Bapak-Bapak ditunggu lama di sini tadi,” ujar anak muda itu, yang ternyata bendahara Ansor cabang. Dari dia kami tahu bahwa pada saat yang sama dengan acara di masjidku besok, ternyata Gus Ipul harus mewakili pak Gubernur menghadiri acara di Kediri. “Jadi, acara di masjid kami nggak mungkin di atur ya, Mas?” tanyaku, “dengan sangat menyesal, Bapak. Kayaknya nggak bisa.”

Berakhir sudah semua rencana. Seksi perlengkapan menelpon pemilik terop dan soundsystem untuk membatalkan. Ternyata mereka sudah ada di perjalanan dan dipaksa balik kanan dan pulang. Seksi konsumsi membetalkan pesanan konsumsi di katering dan harus mengikhlaskan uang panjar yang sudah diberikan. Beberapa teman kelihatan tertunduk diam. Beberapa yang lain mengucapkan sumpah serapah kekecewaan. “Ini bulan puasa, puasa itu melatih kesabaran.... barangkali ini ujian dari Alloh untuk kita semua, kalau kita lulus insyaalloh kita akan beroleh berkah yang lebih besar lagi,” kataku menghibur.


Dalam perjalanan pulang dari hotel, telponku berdering lagi, tanda ada pesan masuk. Seperti tadi, pak kepala dusun yang membuka sms itu. Ternyata dari ketua Ansor cabang, “Besok silahkan datang ke masjid agung, Gus Ipul akan datang membuka kegiatan pondok romadhon anak SMA dan Aliyah, acara di masjid Bapak, insyaalloh akan diagendakan di lain waktu.” Lagi, kami saling berpandangan. “Kita masih bersemangat mengejar Gus Ipul?” tanyaku pada teman-teman. Mereka saling berpandangan, dan secara hampir bersamaan, menjawab, “Kenapa tidak???”.



Tuesday, August 2, 2011

Catatan Ramadhan 1


Mengawali ramadhan kali ini, sehabis sahur pertama, seperti kebiasaan, aku meng-sms teman-temanku untuk sekedar mengucapkan selamat berpuasa dan meminta maaf atas segala khilaf yang pernah aku perbuat kepada mereka. Karena dikisahkan, malaikat Jibril berdo’a, “Ya Alloh, tolong abaikan puasa ummat Muhammad, jika sebelum memasuki bulan ramadhan, dirinya belum: memohon maaf kepada orangtuanya, bermaafan antara suami-isteri, dan bermaafan dengan orang-orang di sekitarnya/ teman, saudara, juga kerabatnya.” Terhadap do’a itu rosululloh SAW mengamininya sebanyak tiga kali.

Beberapa teman menjawab sms itu, dengan juga meminta maaf dan berdoa mudah-mudahan ramadhan kali ini menjadi bulan yang penuh berkah; beberapa teman yang lain mengabaikan. Salah satu teman yang me-reply sms-ku adalah teman satu kos-kosan ketika kami kuliah di Australia dulu. Jawabanya begini, “Salam dari Jepang. Saya juga meminta maaf. Salam untuk keluarga”. Temanku itu tampaknya sekarang sedang berada di negeri sakura untuk mengikuti program bagi young researcher. Dia Ph.D di bidang klimatologi dan sekarang mengajar di IPB.

Ketika kusampaikan salam temanku itu kepada isteri dan anak-anakku, dan kuceritakan kalau sekarang dia berada di Jepang, anak bungsuku, seperti tanpa berfikir saja, berkomentar, “Ayah ngiri ya?”. Degg... aku kaget dengan reaksinya. Walaupun dalam hati aku ingin bilang iya, tapi yang keluar dari bibirku adalah, “tidak...tidak..., aku hanya ingin kamu nanti harus bisa seperti dia...melanglang buana mencari ilmu, sampai di negeri orang.”

Iri? Apakah aku iri dengan keberhasilan temanku ini? Satu lagi pelajaran yang aku peroleh dari anakku, bahwa kita harus pandai mensyukuri apa yang Alloh telah berikan kepada kita. Kita sering tidak menyadari bahwa Alloh telah memberi sangat banyak kepada kita. Kita masih mengharap-harapkan sesuatu yang bukan menjadi hak kita. Neighbour’s grass is greener than ours. Pelajaran pertama yang aku peroleh di ramadhan kali ini, pagi-pagi sekali sehabis sahur, adalah aku diingatkan oleh anakku yang masih kelas 4 MI untuk lebih banyak bersyukur atas apa yang telah dianugerahkan Alloh kepadaku. Lain syakartum laaziidannakum walain kafartum inna ‘adzaabi lasyadiid. Semoga ramadhan kali ini lebih menempa aku untuk bisa menjadi orang yang pandai bersyukur, sehingga makin lapang dadaku, dan makin tenteram hidupku. Amiin.

Mendidik Anak Bangsa di Luar Negeri

Terhitung sejak tahun lalu, saya mendapatkan amanah untuk menjadi kepala sekolah di Sekolah Indonesia Riyadh (SIR), sekolah kedutaan di ...