Pada tahun pelajaran 2014/2015 ini
seluruh sekolah serentak mengimplementasikan kurikulum 2013. Di SD dilaksanakan
pada kelas 1-2 dan kelas 4-5, di SMP pada kelas 7-8, dan di SMA pada kelas 10-11. Ada
empat elemen yang berubah pada kurikulum 2013 jika dibandingkan dengan
kurikulum sebelumnya. Perubahan itu meliputi: standar kompetensi lulusan,
standar isi, standar proses, dan standar penilaian. Namun sangat disayangkan proses
perubahan itu tidak berjalan mulus walaupun sudah dilakukan persiapan-persiapan
sebelumnya.
Sejumlah
kalangan menilai, implementasi kurikulum 2013 bisa gagal karena berbagai
faktor, diantaranya karena transisi pemerintahan (Radar Jombang, Rabu, 3 September
2014). Dan yang paling banyak disorot oleh media, baik cetak maupun elektronik,
adalah belum tersedianya buku untuk siswa maupun untuk guru karena ada sedikit
permasalahan dalam proses pengadaannya.
Elemen perubahan
lainnya juga tidak kalah penting untuk dicermati. Dengan kata lain, kalau
pemahaman guru tentang dua elemen perubahan yang lainnya, yaitu standar proses
dan standar penilaian sesuai dengan kurikulum 2013 sudah memadai, masalah belum
tersedianya buku tidak lagi krusial.
Karena
sebenarnya, konten materi pembelajaran kurikulum 2013 tidak jauh berbeda dengan
konten materi kurikulum sebelumnya, kecuali pada beberapa mata pelajaran
tertentu. Guru masih bisa menggunakan bahan ajar dari buku-buku sebelumnya.
Namun, proses pembelajaran dan penilaiannya harus disesuaikan dengan standar
proses dan standar penilaian kurikulum 2013. Dengan demikian, pemahaman guru
akan standar proses dan standar penilaian kurikulum 2013 sangat penting.
Ada perbedaan proses
pembelajaran yang cukup signifikan pada kurikulum 2013 jika dibandingkan dengan
kurikulum sebelumnya. Paradigma pembelajaran kurikulum 2013 yang menggunakan
pendekatan saintifik dengan langkah-langkah: mengobservasi, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan adalah hal baru bagi
sebagian besar guru. Pendekatan ini mengharuskan guru memfasilitasi peserta
didik untuk menemukan sendiri pengetahuan baru yang dipelajari. Siswa tidak
lagi diberitahu, tapi siswa didorong untuk mencari tahu. Guru harus melatih critical thinking dan meningkatkan rasa
ingin tahu (curiousity) siswa. Hal ini menjadi sulit bagi guru karena
sebagian besar guru jarang bahkan tidak pernah melakukannya dalam pembelajaran
mereka sebelumnya.
Dalam
hal penilaian juga terjadi perubahan yang cukup besar. Pada kurikulum
sebelumnya, guru melaporkan hasil belajar peserta didik kepada orangtua mereka
dalam bentuk nilai tunggal tiap mata pelajaran. Kurikulum 2013 mengharuskan
guru melaporkan hasil pencapaian kompetensi peserta didik untuk masing-masing
mata pelajaran dalam tiga ranah, yaitu: sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Selain itu, guru juga harus membuat deskripsi pencapaian kompetensi peserta
didik untuk masing-masing ranah tersebut. Hal ini, tentu saja, bukan hal yang
mudah bagi guru.
Sebenarnya
hampir semua guru sudah mendapatkan pelatihan tentang pendekatan saintifik dalam
pembelajaran. Guru juga sudah mendapatkan pelatihan bagaimana menilai
perkembangan kompetensi peserta didik. Namun, apa yang bisa didapat dengan
pelatihan yang hanya berlangsung kurang lebih satu pekan itu?
Mau tidak mau, guru
harus menambah pengetahuannya sendiri tentang penerapan pendekatan saintifik
dalam pembelajaran dan juga belajar praktik menilai kompetensi siswa dalam
ketiga ranah yang telah disebutkan.
Pemerintah,
dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebenarnya telah
menerbitkan panduan-panduan yang bisa dipelajari, misalnya: Panduan Penguatan
Proses Pembelajaran, Panaduan Mata Pelajaran untuk masing-masing mata pelajaran,
dan Panduan Penilaian Pencapaian Kompetensi Peserta Didik. Dalam ketiga buku
itu dijelaskan secara detil penerapan pendekatan saintifik untuk masing-masing mata
pelajaran dan bagaimana menilai kompetensi siswa dalam ranah sikap,
pengetahuan, dan keterampilan. Namun sayang, tampaknya banyak guru yang belum
membaca panduan-panduan itu. Ini juga terkait dengan masih rendahnya budaya
membaca di kalangan guru.
Pada
sisi lain, keengganan guru untuk menyesuaikan dengan perubahan kurikulum ini
juga terasa. Mereka beranggapan pendekatan ini sulit diterapkan. Mereka enggan
keluar dari zona nyaman mereka dalam mengajar selama ini. Dalam situasi seperti
ini, peran penting seorang kepala sekolah dalam mengawal perubahan kurikulum
ini menjadi penting.
Kepala sekolah
sebagai agen perubahan harus bisa menjamin dan memfasilitasi perubahan ini.
Diskusi yang terus-menerus akan membantu pemahan guru akan pendekatan
pembelajaran dan penilaian yang baru. Kepala sekolah harus bisa menjadikan
perubahan paradigma pembelajaran dan penilaian ini sebagai trending topic pembicaraan-pembicaraan di sekolah, baik secara
informal maupun secara formal melalui kegiatan rapat dinas pembinaan.
Kepala
sekolah harus menjadikan sekolahnya sebagai komunitas belajar yang profesional
(Professional Learning Community).
Beban perubahan ini akan sangat berat kalau harus ditanggung oleh guru sendiri.
Melaui diskusi-diskusi yang intens,
walau dalam suasana yang tidak formal, pemahaman akan standar proses dan
standar penilaian akan meningkat.
Kegiatan kaji
pembelajaran (lesson study) perlu ditradisikan.
Dalam kegiatan itu, secara kolaboratif dengan teman sejawat, guru menyusun
rencana pembelajaran dan penilaian sesuai kurikulum 2013. Setelah itu guru
mencobakannya di kelas dengan diamati oleh teman sejawatnya.
Permasalahan-permasalahan yang muncul dicatat dan didiskusikan sebagai bahan
perbaikan.
Dengan
ikhtiar-ikhtiar yang disebutkan tadi, harapannya, pemahaman guru terhadap
kurikulum 2013 semakin baik. Dan guru tak perlu lagi galau walau buku yang
ditunggu-tunggu belum juga datang. Bagaimana menurut Anda?
1 comment:
nice idea sir. great moment to share i guess
Post a Comment