Ujian Nasional bagi siswa SMA dan SMP akan
berlansung pada akhir April dan awal Mei tahun ini. Seperti pada tahun-tahun
sebelumnya, pelaksanaan ujian nasional selalu disambut dengan perasaan cemas
oleh bukan hanya siswa, tapi juga para guru dan orangtua siswa. Kecemasan itu
pada akhirnya akan mempengaruhi proses bagaimana guru dan orangtua
membelajarkan anak-anak mereka.
Tidak jarang kita temui
orangtua yang memaksa anaknya untuk mengikuti kegiatan les atau pembelajaran
tambahan di berbagai tempat. Tujuannya hanya satu, membuat anak-anak mereka
sukses mendapatkan nilai yang baik dalam ujian nasional. Yang karena kegiatan itu,
anak-anak telah kehilangan haknya untukbermain dan bersosialisasi secara wajar
dengan lingkungannya. Waktu mereka habis untuk mempersiapkan diri menghadapi
ujian nasional.
Bukan hanya orangtua, guru pun juga tidak
kalah paniknya. Di sekolah, mereka mengadakan kegiatan pembelajaran tambahan.
Ujicoba ujian nasional juga dilakukan berulang-ulang. Dan tak lupa, segala
macam trik mengerjakan soal dimantapkan untuk dikuasai siswa. Bahkan, tak
jarang trik-trik licik juga ikut diajarkan kepada siswa: bagaimana membantu
siswa yang lain atau sebaliknya, bagaimana mencari contekan dari siswa yang
lain. Dari sinilah, malpraktik pembelajaran bermula dan kegiatan yang anti-pedagogi mulai terjadi.
Guru tidak lagi mengajar sesuai dengan
karakteristik mata pelajarannya. Guru hanya fokus mempersiapkan siswa-siswinya agar
bisa menyelesaikan soal-soal ujian nasionalnya dengan baik. Dalam proses
pembelajaran di kelas, aspek pengetahuan mendapat porsi yang lebih besar, kalau
tidak boleh dibilang total, dibandingkan dengan dua aspek lainnya: keterampilan
dan sikap.
Alur pembelajaran ideal, di mana siswa
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui kegiatan mengamati, menanya,
menalar, mencoba, dan membuat jejaring tidak terlaksana. Yang terjadi adalah:
potong kompas. Memfokuskan mempelajari materi yang biasanya keluar dalam ujian
nasional dan menghapal trik-trik untukmengeksekusi soalnya.
Budaya potong kompas ini pada akhirnya akan
melahirkan mentalitasinstan dan menihilkan kreatifitas. Budaya instan yang
terjadi pada dunia pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan
psikologis peserta didik, khususnya berkaitan dengan rasa percaya dirinya. Hal
ini menunjukkan telahterjadinya reduksi tujuan pendidikan nasional. Artinya,
bahwa apa yang ingin dicapai melalui sistim pendidikan kita, tidak memiliki
korelasi yang berbanding lurus dengan perilaku guru, siswa, maupun orangtua.
Sekolah, sadar atau tidak,juga telah mereduksi
standar kompetensi lulusan (SKL) yang seharusnya dicapai siswa. Menurut
kurikulum yang berlaku, kompetensi yang harus dikuasai siswa agar bisa lulus
dari satuan pendidikan mencakup ranah pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Namun yang terjadi adalah ketidakseimbangan dalam pengembangannya. Mata
pelajaran yang masuk ranah keterampilan dan sikap, yang tidak diujinasionalkan,
seolah dianaktirikan. Tidak mendapatkan penanganan yang serius, dan bahkan
dalam beberapa sekolah dikurangi jumlah jam pelajarannya atau bahkan
dihilangkan.
Sebenarnya, pembelajaran mata pelajaran pada
ranah keterampilan dan sikap tidaklah kalah pentingnya. Kehalusan budi,
tenggang rasa, mau menghargai orang lain, sportif, dan kemauan mengapresiasi
pencapaian orang lain bisa dipupuk lewat mata pelajaran seperti seni budaya,
keterampilan, olahraga, atau muatan lokal bahasa jawa. Softskill semacam itu sangat diperlukan bagi harmonisasi kehidupan
di masyarakat. Namun, dengan memfokuskan kegiatan pembelajaran hanya untuk
mencapai hasil yang baik dalam ujian nasional, keterampilan-keterampilan
penting itu akhirnya tidak terkembangkan. Fenomena kenakalan remaja dan
anarkisme dalam menyampaikan aspirasi dan pendapat yang sering kita saksikan,
bisa jadi, berakar dari apa yang telah terjadi di kelas-kelas di sekolah kita.
Kembali
ke khittah.
Sudah saatnya sekarang bagi guru untuk
merenungi kembali tugas pokok dan fungsinya.Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen, dikatakan bahwa “Guru adalah pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.
Dalam tugas pokok guru tersebut terkandung
makna bahwa tugas guru bukan hanya mengajar, yaitu membuat siswa mahir dalam
pengetahuan, mahir dalam mengerjakan soal-soal ujian. Namun, guru juga harus mendidik, yaitu
mengembangkan kepribadian siswanya, membantunya memecahkan masalah yang
dihadapinya, serta menanamkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan mereka. Hal ini
tentu tidak bisa dilakukan secara potong kompas. Seperti disebutkan dalam
sebuah ungkapan: learning that has impact
is not from head to head, but from heart to heart. Pembelajaran yang
mempunyai dampak besar bagi kehidupan siswa di kemudian hari, bukanlah
pembelajaran dari kepala ke kepala, tepai pembelajaran dari hati ke hati.Jadi,
tugas guru bukan hanya mengajar, tapi juga mendidik.
Sudah saatnya sekarang bagi guru untuk tidak
lagi terhegemoni oleh ujian nasional dan berani mengajar sesuai dengan
karakteristik mata pelajaran yang diajarkannya. Harus ada keberanian dari
kepala sekolah dan penentu kebijakan dalam pendidikan untuk tidak lagi
mendewakan ujian nasional dan memarginalkan pelajaran yang tidak
diujinasionalkan. Kalau itu bisa dilakukan, maka keluaran pendidikan bukan
hanya siswa yang memiliki nilai ujian nasional yang tinggi, tetapi juga siswa
yang kreatif, inovatif, dan berkepribadianyang luhur. Bagaimana menurut Anda?
No comments:
Post a Comment