Why Not? (1)
Hari itu hari
kedua setelah pengumuman penerimaan peserta didik baru. Ada seorang wanita
setengah baya, yang nampaknya keturunan cina, datang ke sekolah. Dengan agak
terbata-bata dia menyampaikan maksud kedatangannya, “Pak, tolong saya diberi solusi,
pegawai saya stress karena anaknya tidak diterima di sekolah ini. Dia stress
karena anaknya juga stress.” Aku kaget. Apa iya? “ Dia sangat pengin sekolah di sekolah ini karena
katanya sepak bolanya nomor wahid,” lanjutnya.
Penggalan cerita
di atas merupakan salah satu kenyataan mengharukan yang sedang dirasakan
teman-teman di sekolah saat ini. Pada kegiatan penerimaan peserta didik baru
kemarin kami memang mendapatkan jumlah pendaftar yang berlimpah. Dengan
demikian kami bisa memperoleh intake
siswa yang lebih baik—sesuatu yang sangat diimpikan teman-teman. Hal ini
menjadi kenyataan manis karena selama beberapa tahun belakangan sekolah ini
sering kekurangan pendaftar, bahkan pernah sampai harus membuka pendaftaran
gelombang kedua.
Teman-teman
sering mengeluh karena sekolah ini distigma menjadi sekolah kelas dua, muridnya
adalah ‘buangan’ dari sekolah lain yang lebih favorit, banyak yang tidak lulus
ketika ujian nasional, anaknya nakal-nakal, dan seterusnya dan seterusnya, yang
semuanya serba negatif dan membuat minder.
“Kalau
kenyataannya seperti itu, lantas apa sikap kita?”, tanyaku kepada teman-teman
ketika ngobrol di ruang guru. Banyak komentar yang diberikan oleh teman-teman.
Tak jarang komentar yang diberikan hanyalah ekspresi menerima nasib sebagai
sekolah yang dipinggirkan oleh stigma yang diberikan masyaarakat. ”Kalau kita
menginginkan hasil yang luar biasa, maka harus ada usaha yang luar biasa pula,”
kataku mengutip kata-kata Mario Teguh—walau hidup memang tak seindah dan
semudah kata-kata Mario Teguh.
Kita harus
melakukan sesuatu, kalau kita ingin stigma itu berubah. Kita tidak bisa hanya
berdiam diri meratapi nasib. Dalam kitab suci dikatakan bahwa Tuhan tidak akan
merubah nasib suatu kaum, kalau kaum itu sendiri tidak mau merubahnya. Kalimat-kalimat
tadi terus-menerus saya induksikan kepada teman-teman sehingga akhirnya kita
punya tekad yang sama: kita harus melakukan sesuatu kalau ingin berubah.
Maka, mulailah
dirancang program-program untuk mengkompensasi stigma-stigma negatif yang telah
melekat pada sekolah kami. Berdasarkan hasil diskusi dengan teman-teman guru,
akhirnya disepakati langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mengkompensasi
stigma yang pertama—yaitu anggapan masyarakat bahwa sekolah kami adalah sekolah
kelas dua dan muridnya adalah ‘buangan’ dari sekolah lain yang lebih favorit.
Langkah-langkah yang akan dilakukan adalah: mengenalkan sekolah kepada
anak-anak SD/MI di sekitar sekolah, menjalin kemitraan dengan guru-guru SD/MI
di sekitar sekolah, dan tidak lupa menjalin kemitraan dengan masyarakat sekitar
sekolah.
Kami berasumsi,
bahwa anak-anak lulusan SD/MI atau dalam hal ini orang tuanya enggan mendaftar
di sekolah kami karena mereka belum tahu dengan sebenarnya sekolah kami. Jadi
sekolah perlu membuka diri dan semua warga sekolah haruslah menjadi humas yang
baik dari sekolah. Harus ada cara yang membuat orang tahu keadaan kami
sekarang. Harus dirancang kegiatan yang menghadirkan sebanyak mungkin anak
SD/MI, guru-gurunya, bahkan kalau mungkin orangtuanya ke sekolah kami. Dan kegiatan
tersebut harus murah karena sekolah kami hanya mengandalkan pendanaan dari dana
BOS. Tanpa pernah meminta sumbangan kepada masyarakat.
Akhirnya,
langkah pertama yang disepakati adalah dengan mengadakan kegiatan try-out ujian nasional untuk anak-anak SD/MI
di sekitar sekolah. Kegiatan tersebut harus gratis dan berhadiah agar bisa
menarik minat sebanyak mungkin siswa. Dan untuk membuat anak-anak SD/MI
tertarik dengan sekolah ini, pada saat kegiatan try-out dilaksanakan juga open
day sekolah: kami pamerkan semua aktifitas sekolah.
Anak-anak yang
ikut ekstra sepakbola dan bola voli, mereka datang dan berlatih dengan pakaian
seragam olahraganya yang keren. Yang ikut pramuka, juga mengadakan latihan
pramuka. Di ruang serbaguna dipamerkan hasil karya anak-anak, mulai dari
lukisan, batik, dan hasil kerajinan yang lain. Kami pamerkan juga alat-alat
laboratorium IPA, yang mikroskop-nya bisa juga dicoba-coba oleh anak-anak yang
mengunjunginya. Dan tak lupa, diputarkan video kegiatan siswa, mulai dari
kegiatan pramuka sampai dengan LDK. Pokoknya hari itu harus menjadi hari yang
meriah yang membuat anak-anak itu ingin kembali suatu saat nanti.
Saya dan
guru-guru yang kebetulan tidak mendapat tugas mengawasi try-out menyebar untuk menemani guru pengantar dan orang tua
siswa yang ada di lokasi sekolah. Kami ajak mereka ngobrol sambil menjelaskan
program-program dan ‘impian’ sekolah. Kami juga mencoba menjaring masukan
program-program apa yang harus kami adakan di waktu yang akan datang.
Lantas dari mana
dananya? Dari dana BOS jelas tidak bisa. Cari sponsor adalah satu-satunya cara.
Tapi, bagaimana bisa menarik sponsor kalau sekolah kita dianggap tidak ‘layak
jual’? Kami memutar otak. Mencari celah-celah yang bisa digunakan untuk menarik
minat sponsor. Alhamdulillah, kami bisa memanfaatkan link yang ada, apa itu teman penerbit, kursusan, lembaga bimbel,
asuransi dan sebagainya yang semuanya punya kerjasama dengan sekolah. Bahkan,
ada dari teman guru sendiri yang menjadi sponsor. Alhasil, kegiatan try-out
yang kami rancang tersebut berjalan sukses luar biasa. Tidak ada satu kursi pun
tersisa.
Melihat
kesuksesan kegiatan try-out tersebut kami merasa optimistis bahwa dalam PPDB
nanti kami tidak perlu khawatir kekurangan pendaftar. Dan alhamdulillah,
kenyataannya memang demikian, bahkan kami kelimpahan banyak pendaftar, hingga
lebih dari 140 siswa yang terpaksa tidak bisa tertampung di sekolah kami. The dream comes true, akhirnya mimpi
kami untuk memperoleh intake yang
bagus menjadi kenyataan. Why not?
Mengapa tidak? Kalau ada kemauan pasti ada jalan untuk mencapainya.
Ini adalah awal
yang baik, tapi, masih ada program lain yang harus dilaksanakan untuk menjamin
keberhasilan ini bukan hanya sebuah kebetulan. Program kemitraan dengan
guru-guru SD/MI adalah program kami berikutnya. Kami punya fasilitas ruang
komputer dan punya SDM yang bisa membimbing belajar komputer. Kami ingin, suatu
saat nanti, kami bisa bersama-sama dengan guru-guru SD/MI di sekitar sekolah
belajar komputer bersama. Kami ingin berbagi trik-trik mengajar untuk
menyiapkan anak-anak menghadapi ujian nasionalnya. Kami ingin keberadaan
sekolah kami benar-benar menebar banyak manfaat. Kami juga ingin masyarakat
sekitar juga merasakan manfaat keberadaan sekolah kami di lingkungannya. Ini
tentu bukan pekerjaan yang mudah, tapi why
not?
Mungkin sampai
di sini dulu share saya kali ini. Pada bagian berikutnya, kami nanti ingin
berbagi, bagaimana usaha kami mengkompensasi stigma yang kedua: banyak yang
tidak lulus ketika ujian nasional!